Kamis, 13 Maret 2008

Teman Koridor Laut


Setelah bertemu dengan Tiin teman sekolah dulu, kini aku dipertemukan lagi dengan teman-teman sewaktu kuliah. Suatu kebetulan karena beberapa waktu yang lalu aku begitu rindu dengan mereka. Pesan singkat kuterima dari Oke’, teman mungkin yang paling intens menghubungi selama ini. Kami hanya bertemu sesekali saja jika ia sedang ada di Makassar. Pekerjaan dan kuliah membuatnya mesti bolak balik Makassar-Sulbar. Sebuah pesan mendadak yang mengabarkan tentang rencana pertemuan dengan teman-teman, untunglah tidak ada aktifitas yang berarti jadi akupun mengiyakan, lagipula akan sulit mendapat waktu untuk bertemu lagi dengan mereka.

Rencana hari itu, anak-anak ingin berkumpul di rumah Tia salah satu temanku, karena kebetulan ia sedang ada di Makassar. Tia yang usai menikah harus menetap di Jakarta dan mengikut kerja suami di sana, balik ke Makassar karena masa hamil 9 bulan dan ingin melahirkan di sini. Saat Tia menikah saya dan Oke’ tak sempat hadir saat itu jadi akhirnya kami memutuskan untuk membeli sebuah kado sebagai penggantinya. Setelah membuat janji aku bertemu dengannya di depan komleks rumahnya. Taksi melaju membawa kami ke sebuah MP, Mall paling besar dan cukup populis di kota ini .

MP sangat penuh hari itu, apakahkah karena hari Minggu atau mungkin tempat ini memang setiap saat dipenuhi orang?. Kami masuk di sebuah toko pakaian, tidak sulit mencari kado karena sama-sama telah tahu pilihan yang tepat : seperangkat kebutuhan bayi. Satu paket pakaian dan sepaket lagi bantal dan selimut bayi. Yang menyulitkan hari itu karena umumnya di toko atau gerai pakaian bayi , kita hanya diberi dua pilihan warna, biru atau pink. Pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan sebuah simbol yag entahlah berawal dari mana. Mau tak mau kami terjebak dengan dua pilihan warna itu karena kami pun tidak tahu jenis kelamin bayi yang dikandung Tia. Dengan analogi yang umumnya distandarisasi orang-orang saat ini, bahwa perempuan lebih mungkin memakai celana dan laki-laki yang pastilah tak akan mau memakai rok (kecuali terjadi sedikit kelainan), makanya kami memilih warna biru. Walaupun sebenarnya saya terus bertanya, mengapa ada simbolisasi seperti itu. Sudahlah, terima beres saja. Setelah membayar dan kado terbungkus, kupikir kami akan segera menuju ke rumah thia. Tapi tidak , kami berlanjut ke sebuah tempat yang sungguh mengerutkan dahiku, sesuatu yang merubah pandanganku tentang Oke’ yang kukenal dulu, dia yang kini telah menganggap bahwa perawatan tubuh adalah bagian penting dari hidupnya. Istilah yang disebut orang, Metroseksual? Ya , mungkin. Tak banyak berkomentar dan membuatku sedikit bersabar untuk menunggunya melakukan perawatan rambut (Creambath, dll) di sebuah salon yang cukup terkenal masih di MP. Secara ekonomi boleh dibilang ia telah mapan, bekerja dalam proyek-proyek besar di daerah yang baru saja menjadi propinsi. Sul-Bar, propinsi baru yang kini menjadi lahan subur untuk mengalirnya dana-dana untuk proyek pengembangan daerah. Peluang yang entahlah ia masuk lewat mana, selain memang ia berasal dari daerah itu. Aku tak pernah tahu seberapa besar penghasilannya tapi yang kutahu ia telah berhasil membeli sebuah mobil dan mampu melanjutkan S2 dan tentu saja telah mengubah pola hidupnya dari kafe ke kafe, hotel ke hotel, salon ke salon, kota ke kota dan apapun yang mudah dijangkau dengan uang, kecuali satu hal yang belum berubah dari darinya adalah belum pernah kulihat ia menggandeng seorang perempuan selain teman-teman dan juga saya yang memang kami telah dekat semenjak awal kuliah. Ia mungkin sedikit malu membahas itu denganku.

Seperti keadaan di luarnya, salon juga juga ramai pengunjung yang umumnya adalah anak-anak ABG. wajah-wajah cerah namun seperti pada umumnya mereka tampak seragam dalam potongan rambut dan tampilan berpakain yang hampir sama. Cukup menyenangkan pula memperhatikan tingkah mereka, selain memang tak ada pilihan lain saat menunggu. Hampir sejam, kini ia dengan tampilan rambut baru. Sebagai terima kasih telah menunggunya, ia mentraktirku di sebuah kedai durian. Pertama kali kurasa kekenyangan dengan buah sebesar itu,. Setelahnya barulah kami menuju rumah Tia.

Kami tiba di sana menjelang magrib. Mungkin umum, saat kita telah lama berpisah dan bertemu kembali akan diawali dengan teriakan kecil, berpelukan dan saling tertawa, itu pula yang terjadi malam itu. Tia, kini lebih gemuk dengan perut buncitnya, veron dengan tampilan baru memakai kerudung, Lukman masih dengan panggilan panjang karena tubuhnya yang tinggi, dan Edi yang kusebut ia sapi bermata telur karena matanya yang bola. Lalu yang lain ? tidak seperti dugaanku karena mereka tak hadir semua jadi Imran berinisiatif untuk berkumpul lagi besok dan ia akan menghubungi semua teman yang ada di sini. Malam itu kami saling bercerita dan menghabiskan kue serta bakwan goreng yang dibuat Tia.

Besoknya kami bertemu kembali, aku berangkat bersama Oke’ lagi. Menjemput Tia lalu menuju sebuah kafe, Oke merencanakan tempat itu dengan pertimbangan teman-teman akan lebih banyak hadir. Dialah yang memiliki modal untuk itu. Dan ternyata benar, malam itu menjadi malam reuni. Aku bertemu lagi dengan Rony, Boby, Linda, dan teman kecilku Asbir. Lainnya adalah teman-teman yang kemarin kutemui. Rony dan Boby ternyata belum juga menyelesaikan kuliahnya, Linda sekarang telah bekerja di sebuah LSM Internasional, dan Asbir masih seperti dulu menjalankan bisnis perikananannya. Cuma mereka yang bisa kutemui malam itu, karena lainnya banyak yang telah pulang ke kampung halaman masing-masing dan ada juga yang mengadu nasib di kota lain. Dan berkat layanan telepon murah kami bisa terhubung dan berbincang lama dengan teman lain. Silvi di Jakarta, Ale di Surabaya, Suri di Papua dan beberapa teman lain di kota lain . Saling bertukar cerita, walaupun telah kuduga perbincangan kami tak akan jauh jauh soal permasalahan tidak hidup, tentang kuliah, kerja, menikah (pertanyaan paling sering disodorkan kepadaku) dan walaupun demikian pula malam itu adalah malam yang menyenangakan, malam yang ramai, malam yang ribut, dan tentu saja malam mengenyangkan karena aku hampir menghabiskan satu pan Pizza dan segelas cream mocca.

Banyak hal-hal, kabar, dan juga gossip yang baru aku tahu. Kabar tentang teman-teman, dimana mereka dan bagaimana mereka sekarang, boleh di bilang akulah yang paling ketinggalan soal itu, sesuai menyelesaikan kuliah aku memang jarang lagi berhubungan bahkan kontak melalui HP pun tidak. Lewat Oke’ lah aku bisa sedikit tahu. Awal kuliah aku begitu dekat dengan mereka, tugas dan praktikum yang bertumpuk adalah keseharian yang mendekatkan kami namun di akhir-akhir masa kuliah, aku menjauh diri dan jarang lagi berkumpul. Banyak hal yang membuatku merasa tidak nyambung bahkan konflik-konflik kecil kadang terjadi. Masa dimana, terjadi perubahan besar dalam cara berpikirku, aku mulai menyadari ketidak beresan dalam lingkunganku dan lebih besarnya adalah dalam hidup, sesuatu yang dulunya kuanggqap baik-baik saja. Hingga aku mulai membenci keadaan, membenci hal-hal yang ku anggap salah saat itu, dan termasuk juga teman-temanku. Karena yang terjadi adalah mereka tak peduli dengan apa yang kupikirkan, bahkan menyebutku terlalu mengawang-ngawang. Menjauh dan mencari teman lain yang mau jalan bersama, yaitu mereka yang ber“ideologi”.

Jauh setelah itu, yakni masa sekarang aku mulai menyadari kembali semuanya. Entahlah aku menyesalinya atau tidak. Dan kusadari telah terjadi lagi perubahan dalam diriku. Bukan menjadi bijak, karena apa yang kulakukan dulu yaitu menjauh dari teman-temanku adalah sebuah kesia-siaan karena tak pernah mengubah keadaan, tak akan mampu mengubah mereka. Lalu aku berpikir lagi saat ini, apakah aku perlu mengubah mereka? Dan juga apakah kami harus berpikir sama agar kami tetap saling berteman?sunguh yang kulakukan dulu tidak ada bedanya dengan “hero’ sang penyelamat, atau sebuah pengaagung-agungan atas ideologi.

Sebuah perenungan yang membuatku merindukan mereka kembali, dan aku hanya menyesal karena tidak lagi berada dalam keadaan kami bisa lagi saling bertemu. Ada hal –hal yang bernilai dari sebuah kebersamaan dan pertemananan tanpa intervensi individu yang melekat dalam ras, agama, atau ideologi apapun itu. Semua yang tak akan sama nilainya dengan senyum, kegembiraan, gelak tawa, candaan, dan segala perasaan menenangkan saat kita bersama.

Malam itu, seolah mengembalikan semuanya. Bertemu mereka, dan mencoba melupakan diriku, berbaur menjadi yang mereka sukai, yang penuh dengan candaan dan lelucon. Gelak tawa tak tertahankan adalah reaksi tak ternilai seperti sebuah terapi yang menyembuhkan penyesalanku. Keadaan yang tak akan kusia-siakan lagi, karena kesempatan tidak selalu seperti apa yang kita inginkan. Aku tak tahu entah kapan kami bisa berkumpul lagi. Aku pulang dengan penuh kelegaan, kami kembali ke hidup masing-masing. Hidup yang telah kami pilih. Dan berharap ada persimpangan yang mempertemukan kami lagi.

Malam belum berakhir saat itu, setiba di rumah aku tiba-tiba teringat seorang temanku, ia tak sempat hadir. Rega, ia masih berjuang meloloskan diri dari kuliah dan kudengar ia ujian meja hari itu. Kuhubungi dia bukan untuk memberikan ucapan selamat tapi sekedar ingin mengobrol saja dengannya. dan benar, kami mengobrol panjang malam itu (paling tidak ini sedikit pelarian dari penyakit susah tidurku). Rega adalah orang cukup enak diajak ngobrol, kami cukup nyambung dalam berbagai hal dan yang membedakan dia dari teman-teman ku yang lain adalah aku bisa menjadi sedikit diriku. Berbicara tentang hal-hal tak bisa kubicarakan pada teman-teman yang lain. Ia kini sedang berada dalam masa-masa dimana akan beranjak ke bagian hidup lain setelah kuliah. Masa yang juga pernah kulewati, penuh dengan kegelisahan dan kekhawatiran. Saat-saat itu dimana kita mulai memetakan hidup, kemana kita? Dan Ini pula yang terjadi pada Rega. Ia banyak bertanya tentangku, dan kujawab seperti apa adanya yang terjadi sekarang.. Perbincangan yang panjang, sangat menyenangkan. Tentang kerja, kemungkinan, tentang rencana masa depan hingga tentang bagaimana pandangan akan hidup. dan tentu saja berbicara dengannya tak akan luput dari perbincangan tentang film. Aktivitasnya di liga film, telah menghabiskan banyak waktunya dengan urusan-urusan membuat film dan yang berkaitan dengan itu, ini pula yang memperlama masa kuliahnya. Aku mendapat banyak referensi film darinya, sangat menarik karena kami terus berdiskusi panjang tentang film. Sayang sekali pulsa membatasi perbincangan kami, selain juga mataku akhirnya lelah.

Aku tak tahu lagi harus mengakhiri ceritaku ini. Karena kuharap certia ini masih akan berlanjut bertemu lagi dengan teman koridor laut yang lain. Ya, sungguh ini adalah hari menyenangkan………..miss u all

18 Februari 2008

~ 0 komentar: ~

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget