Kamis, 13 Maret 2008

Mimpi Seusai Kerja


Oleh : Herman Hesse

” Dalam setiap esai, saya berusaha menuntun pembaca untuk tidak hanyut dalam panggung dunia dengan persoalan politiknya, melainkan mengajak para pembaca pada persoalan mendasar kemanusiaan, sebelum penilaian sepihak menduduki suara hati pribadi masing-masing...”(Hesse)

Dalam Pos sekretariat deputi sebuah kementrian, saya mendapati diri berada dalam situasi yang sama mengesankannya seperti mereka yang beberapa tahun lalu harus melepaskan kebiasaan lama dalam melayani masyarakat. Kerja seharian memaksa kami hidup dalam ketegangan. Kami tidur dengan beban kerja dan bangun untuk kembali bekerja. Kami mengkhawatirkan urusan departemen, kami mencari ide supaya lebih baik, memakai metode paling sederhana, dan menceburkan seluruh aspek kepribadian kami dalam waktu-waktu kritis itu. Dan tiba-tiba kesempatan itu datang saat diri kami yang sejati-”Adam yang lampau” dalam konteks teologi-keluar bersama kami, lesu dan ragu-ragu seperti seorang laki-laki yang mencoba tersadar dari pembiusan dan telah sekian lama tidak memiliki kontrol penuh atas anggota tubuh maupun pikiran.

Inilah yang saya rasakan beberapa hari yang lalu sepulang ke rumah dengan sebundel dokumen dalam genggaman. Matahari bersinar hangat. Udara menyebarkan aroma awal musim semi seakan-akan Hazelnut sedang berkembang di suatu tempat. Hanya beberapa saat sebelumnya dalam perjalanan pulang, pikiran saya dipenuhi persoalan tawanan perang. Saya mempertimbangkan surat dan memorandum yang rencananya akan ditulis setelah makan malam. Sekarang saya dalam perjalanan menuju luar kota dan dalam sekejap pikiran saya tidak lagi tertuju pada para taanan perang, penyensoran, makalah singkat, atau kesulitan dalam pengajuan kredit. Selama semenit ke depan saya melihat dunia seperti sebuah tampat yang bebas dari rasa takut. Burung hitam terbang melintas dengan cepat melewati pagar tanaman dan pohon limau yang membatasi perkebunan, menggores dahan lalu menukik menuju langit musim semi yang berawan tipis. Di sana-sini di pinggiran ladang terdapat sebidang tanah sempit yang ditumbuhi pepohonan dengan dedaunan hijau berkilauan dan sinar matahari menembus pohon Walnut yang rimbun. Saya melupakan apa yang ada dalam kepala dan segala sesuatu yang saya bawa dalam kopor untuk seperempat jam. Ketika perjalanan berakhir, saya tidak hidup dalam situasi yang kita sebut ’realitas”, melainkan dalam keindahan realitas otentik yang menderita bersama kita. Saya berbuat seperti anak kecil, seperti yang dilakukan oleh sepasang kekasih maupun seorang penyair. Saya melupakan sebuah maksud dan keinginan. Saya membiarkan diri ini hanyut dalam keindahan mimpi aneka warna.

Impian khayalan! Impian melitas di mata dan saya menyaksikan segala sesuatunya menjadi baru, terjadi untuk pertama kalinya di hari itu. Saya melihat sesuatu yang murni, tak bernoda, egoisme, sebuah lingkaran, dunia puas diri yang egoistik, amoral, hasrat asosial, dan bayangan masa depan. Tidak ada yang namanya perang dan perdamaian, tidak ada yang harus dilakukan untuk menebus tawanan perang, tidak ada yang harus dilakukan terhadap seni, sosial, sistem pendidikan, atau agam di masa depan. Semacam perhatian yang tidak menyentuh kedalamannya, hanya wilayah permukaan. Hanya sekali saja Adam yang lampau menyibakkan cadarnya. Dia masih anak-anak dan semua hasratnya terkait dengan diri sendiri dan dan kemauan azalinya.

Saya telah bermimpi, mimpi yang menakjubkan. Saya mimpi perdamaian datang menjelang. Kita semua digantikan generasi baru, matahari bersinar dan saya tidak bisa bertindak sesuka saya.

Dalam mimpi itu, saya melakukan tiga hal. Pertama , saya baring di pantai dengan kaki berjuntai menyentuh air. Saya mengulum setangkai ilalang dengan mata setengah terpejam dan menyenandungkan sebuah lagu. Untuk beberapa saat saya mencoba menerka nada lagu apa yang saya senandungkan itu, tapi itu tidak terlalu mengganggu. Lagi pula siapa peduli? Saya terus bersenandung sampai bosan dan menceburkan kaki ke dalam air. Saya hampir jatuh tertidur dalam kehangatan mentari, tetapi tiba-tiba semua kembali pada saya : saya bebas dan menjadi tuan atas diri sendiri, saya dapat berbuat sesuka saya, saya berbaring di pantai yang jauh dan luas dan tak ada seorang pun selain saya. Saya loncat-loncat seperti Indian yang memperagakan tarian perang, saya menceburkan tubuh saya ke air yang biru. Saya mengelepar-gelepar di air, berenang menuju ke pantai, merasa lapar, berlari ke pantai, mengibaskan air dari rambut, kemudian berbaring di samping ransel yang terbuka. Perlahan saya mengeluarkan sepotong roti, roti hitam yang telah ada sebelum perang, dan selai – sejenis selai yang biasa kita bawa saat piknik di sekolah sewaktu kita kecil-sekerat keju Swiss, sebutir apel dan sepotong coklat. Saya membentangkan kain dan meletakkan semuanya lantas menatap takjub sampai tak dapat menahan lapar lebih lama lagi. Kemudian saya melahap semuanya. Dan ketika saya mengunyah, kebahagiaan masa kecil yang terlupakan mengalir dari roti dan selai yang saya makan.

Tetapi tidak lama. Pemandangan segera berganti. Sekarang saya berpakain formal dan lengkap. Duduk dalam ruangan yang nyaman dengan jendela menembus taman. Bayangan ranting tergerai di jendela. Di pangkuan saya tergenggam buku dan saya terbenam dalam bacaan. Saya tidak tahu buku apa itu. Yang saya tahu temanya filsafat-tetapi bukan Kant atau Plato, barangkali Angelus Silesius-dan saya membaca dan terus membaca, menyelami diri sendiri dalam kebahagiaan tak terlukiskan karena sepenuhnya bebas dan tak ternganggu, tanpa kemarin maupun hari esok, di laut ini, dalam keindahan ini, lautan perhatian dan pengagungan yang tak pernah habis, dari antisipasi tak sabar yang akan membenarkan pemikiran saya. Saya membaca dan merenung, perlahan saya membalik halaman baru, di jendela seekor tawon berwarna coklat emas berdengung sementara keadaan sekitarnya sunyi, saya tidak menginginkan apa pun selain mengungkapkan hal yang sungguh mencukupi kepuasan batin.

Dari waktu ke waktu, tampaknya dekat rumah atau dari dalam rumah, saya mendengar suara syahdu yang lembut dari sebuah biola atau mungkin cello. Perlahan suaur itu terdengar lebih keras dan lebih nyata, bacaan maupun pikiran saya sepenuhnya beralih. Saya mendengarkan musik, lebur dalam gairah tak sudah. Mozart mempengaruhi ketenangan dunia yang murni. Saya pikir telah berada di sana seumur hidup. Saya duduk di kursi antai di samping dinding yang rendah di sudut sebuah kebun anggur di lembah selatan.

Di atas lutut saya terdapat sebuah bingkai media lukis tangan kiri saya memegang palet dan di tangan kanan sebuah kuas. Di samping saya tergeletak tongkat penyangga tubuh, ransel saya terbuka, dan saya bisa melihat tube mungil untuk melukis. Saya mengambil satu, melepas tutupnya dan dengan kegembiraan amat sangat saya menekan tube biru kobalt termurni dan mengoleskannya pada palet, kemudian warna putih dan hijau kebiru-biruan untuk melukiskan udara pagi. Untuk waktu lama saya menatap pegunungan dan arakan awan coklat emas, dan mencampurkan biru laut dengan merah, menahan nafas sejenak sebab pemandangan menjadi tak terhingga lembutnya, bercahaya dan penuh khayal. Setelah ragu-ragu sejenak, kuas dengan coretan melingkar yang cepat melukiskan awan berkilauan menjadi biru dengan bayangan berwarna kelabu dan ungu, latar depan berwarna hijau dan guguran pohon Cheznut memainkan harmoni satu sama lain dengan warna merah dan latar belakang yang berwarna biru. Nuansa persahabatan dan kasih sayang yang terpancar, warna-warni menarik dan nuansa kebencian yang meledak dan segera kehidupan terkonsentrasikan dalam media lukis persegi tersebut. Segala yang ada di dunia ingin berbicara, mengaku dan meminta maaf-begitu juga saya pada dunia-menyatakan keinginannya untuk dilukis dengan warna putih dan biru dan kuning cerah yan ceria dan dalam hijau lembut yang manis. Dan saya rasa inilah kehidupan! Inilah yang dapat saya bagi dengan dunia, kebahagiaan dan sekaligus beban-beban saya. Di sinilah sayam merasa berada di rumah. Di sinilah kebahagiaan disimpan untuk saya, di sini saya menjadi raja, di sini saya bisa kembali ke masa lalu dengan mengabaikan dunia pegawai negeri yang menyesakkan.

Sebentuk bayangan jatuh di atas lukisan saya, saya mendongak-saya sedang berdiri di luar rumah dan mimpi pun usai sudah.

Diambil dari kumpulan esai Herman Hesse ”Seandainya perang terus berkecamuk sebuah refleksi tentang perang dan politik” Jalasutra 2005)


Tentang Herman Hesse dan Esainya ...
Mimpi sesuai kerja ”adalah salah satu esai yang menggambarkan bagaimana kehidupan dunia kerja di masa perang, tentang beban dan keterpurukan serta mimpi-mimpi dan kerinduan akan sebuah kebebasan. Pencarian akan sebuah arti kehidupan. Menakjubkan, esai ini ditulis lebih dari setengah abad silam, namun gagasan-gagasan nya masih relevan dengan situasi dunia saat ini. Benar bukan? lihat apa yang digambarkan Herman Hesse tentang sebuah dunia kerja, bandingkan dan kita akan menemukan banyak kesamaan. ”Dunia kerja” yang terus mengalienasi manusia dari hidupnya.

Herman Hesse (1877-1946) lahir di Calw, Jerman. Pernah menempuh pendidikan pada sekolah misionaris sebagai calon pendeta. Namun, ia mengalami krisis spiritual dan berusaha menjalani pengobatan spritual oleh seorang teolog ternama. Upaya itu gagal. Ia sempat berusaha bunuh diri, tetapi masih terselamatkan. Akhirnya ia keluar dari seminari Maulbronn tahun 1892. Setelah drop-out dari sekolah, ia lalu bekerja di toko buku selama beberapa tahun-sebuah tradisi pembelajaran yang memuluskan kariernya sebagai pengarang Jerman terkemuka. Perang dunia I muncul sebagai kejutan mengerikan. Hesse bergabung bersama seorang pasifis dan penulis benama Romain Rolland- selain menulis esai antiperang, dia juga menjadi editor surat kabar yang ditujukan bagi tawanan perang Jerman. Dan kemudian menekuni karya-karya Freud dan Jung saat menjadi pasien di sebuah sanatorium. Tahun 1919 dia menetap di Swiss. Dan kemudian hidup mengasingkan diri di Montagnola, Swiss sampai ia meninggal.

Karya-karyanya: Peter Camenzind (1904), Beneath the wheel (1906), Deman (1919), Siddhartha (1922), Steppenwolf (1927), Narcissus and Goldmund (1930), The Journey to the east (1932), Magister Ludi (1943), sebuah karya yang menghantarkan Hesse meraih hadiah Nober Sastra tahun 1946.

~ 0 komentar: ~

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget