Kamis, 13 Maret 2008

“Kerja bukan mimpi”


Esai Herman Hesse “ mimpi sesuai kerja” mengingatkanku pada seorang teman lama Tiin. Kami baru saja bertemu setelah lebih dari setahun putus kontak. Pekerjaan dan kesibukan mungkin jadi alasan. Tiba-tiba saja ia menghubungiku dan akhirnya kami bisa bertemu lagi. Waktu itu Tiin baru pulang dari mengikuti tes pekerjaan di sebuah BUMN. Hari itu juga Tiin mengajakku untuk menemaninya ke sebuah hotel, dimana di sana sedang diadakan Bursa pekerjaan oleh berbagai perusahaan dan ia ingin mencari peluang pekerjaan lagi. Sempat ingin menolak tapi tak mau mengecewakannya karena kami baru saja bertemu. Secara fisik, banyak yang berubah dari Tiin. Kini tampak lebih kurus dan pucat, rambutnya yang dulu selalu mengembang telah memanjang dan lurus. Ya, jasa Rebonding telah mengatasi keluhannya sejak dulu. Dia juga lebih modis dengan jeans ketat dan sepatu hak tinggi. Ku temui sedang memegang sebuah map besar yang pastilah berisi berkas lamarannya. Kami naik angkot menuju hotel yang menjadi tujuan. Cukup lama perjalanan kesana jadi kami punya banyak waktu untuk saling bercerita tentang aktivitas masing-masing selama ini.

Sehabis kuliah dari jurusan Hukum, Tiin langsung diterima di sebuah perusahaan pengiriman barang. Bukan keanehan lagi saat ini, orang-orang melakoni pekerjaan yang tidak sesuai dengan dasar keilmuannya. Lima tahun atau mungkin tujuh tahun menghabiskan energi dan materi guna mendalami sebuah bidang ilmu menjadi sia-sia. Tidak aneh juga karena Institusi pendidikan tidak lagi mengajarkan kita pentingnya sebuah ilmu dan maknanya tapi mengajarkan kita untuk meraih angka-angka dan nilai yang tersusun dalam selelembar kertas yang bernama ijazah. Sebuah alat ampuh untuk menawari diri dalam kolom-kolom pengharapan di setiap halaman Koran. Institusi pendidikan tidak lebih dari sebuah pabrik penghasil buruh-buruh siap pakai yang terjadi justru sebagian besar yang hasilkannya malah tak terpakai. Saya dan juga Tiin adalah dua di antara ribuan bahkan jutaan produk yang telah dihasilkan.

Tiin bercerita lagi tentang dirinya. Ia kini telah berhenti bekerja di perusahaan tersebut setelah lebih dari dua tahun bekerja di sana. Awalnya ia masih berstatus sebagai pegawai kontrak setelah setahun baru terangkat sebagai pegawai yang entahlah saya tak tahu pasti, jelasnya ia tidak lagi berstatus kontrak. kemudian Alasan yang masuk akal ia berkeluh pada saya mengapa ia berhenti bekerja:

“ Bayangkan, saya tu kerja dari Senin sampai Sabtu. Tiap hari itu harus datang pagi-pagi sekali dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore dan dalam sehari itu saya cuma punya jeda di waktu makan dan shalat , selebihnya adalah di depan komputer menyelesaikan laporan yang bukan main memusingkannya. Laporan itu saya harus diserahkan tiap harinya, waktu bersantai ? jangan harap. Mengulur waktu sama saja dengan menumpuk-numpuk laporan. Untung-untung kalau tidak ada kesalahan, ujung-ujungnya pasti gaji juga yang di potong. Bahkan hari Minggu pun walau di rumah, saya masih tetap mengerjakan laporan untuk esoknya. Gila kan? . Bosan, jenuh, stress dan akhirnya apa? Saya terkapar di rumah sakit lama, gaji saya bahkan tidak cukup membiaya obat dan perawatan. Makanya, saya milih berhenti kerja saja di sana.”

Mendengar cerita Tiin, saya cuma tersenyum saja, tidak aneh. Walaupun dan untunglah saya belum bergelut dalam dunia seperti itu, hal yang demikan telah bisa saya bayangkan. Cerita Tiin, memperjelas semuanya. Inilah mengapa sampai saat ini saya belum siap menyerahkan diri untuk masuk dalam dunia mengerikan tersebut. Saat tuntutan hidup normal terus meronrong saya. Realistis kata mereka. Apa yang saya lakukan selama ini, tidaklah dianggap sebagai sebuah pekerjaan, karena penilaian akan kerja hanya dilihat pada seberapa rutin jadwal kerjamu, seberapa besar dan terkenalnya tempatmu bekerja dan seberapa besar uang yang kamu bisa dihasilkan. Sedangkan saya? Sulit untuk di mengerti karena yang saya inginkan adalah hidup bukan kerja. Saya tak terikat oleh apapun, saya bebas menentukan kemana dan akan apa, saya punya banyak waktu untuk tertawa dan tersenyum lalu inikah alasan untuk malu akan hal itu? dan apakah yang terjadi pada cerita Tiin tadi adalah sesuatu yang harus dibanggakan?. Tetapi sekali lagi , kehidupan saat ini tidak akan bisa menerima alasan saya. Realistislah, pernyataan yang selalu meningingatkan walau kadang bingung juga apakah kata itu telah tepat penggunaannya.

Berbicara dengan Tiin, mungkin tidak sama lagi saat kami bercerita beberapa tahun yang lalu, saat kami masih bersekolah dulu. Topik yang kami ceritakan pun kini tak sama lagi. Dulu kami berbicara tentang teman, tentang cowok idaman, tentang saingan, tentang sekolah, tentang pakaian, semuanya bercerita penuh keceriaan dan obrolan kami selalu saling menyambung. Tapi sekarang, kadang sulit lagi bercerita dengannya, entahlah siapa yang berubah di antara kami. Hidup dalam lingkungan yang berbeda, setiap saran dan ucapan saya, mungkin adalah keanehan bagi Tiin yang hidup begitu normal (dalam pandangan kebanyakan). Apakah saya harus menyalahkan dia? Ataukah saya yang seharusnya menyesali diri hidup tak seperti dia agar tetap merasakan bahwa hidup ini baik-baik saja? Saya berpikir dan saya tidak memilih kedua-duanya.

Obrolan kami terhenti saat tiba di hotel yang dimaksud. Tiin masuk dalam ruang bursa sedang saya menunggunya di lobi hotel. Tak membawa buku, jadi tak ada yang bisa dilakukan saat menunggu selain memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk. Beberapa di antaranya saya kenali, tapi kami cuma bisa saling bertegur sapa karena mereka kelihatannya cukup sibuk mempersiapkan berkas-lamarannya. Ada banyak orang saat itu dengan tampilan dan model yang hampir sama. Sebuah cara berpakain formal yang dianggap representatif dalam sebuah dunia kerja, dunia yang menghargai segalanya pada tampilan fisik. Beberapa di antaranya kelihatan sangat pantas tetapi ada pula yang terlihat sangat dipaksakan. Banyak pula di lobi yang sedang duduk menunggu, ada yang menunggu teman atau mungkin kekasihnya dan ada pula yang sedang menunggu kepastian nasibnya dari pengumuman yang dikeluarkan siang itu juga. Di depan lobi terpampang sebuah papan informasi daftar-daftar berbagai perusahaan yang sedang membuka peluang kerja di sana. Mulai dari perusahaan asuransi, Bank, sampai perusahaan penyedia tenaga kerja atau outshorching. Apakah saya merasa merugi tak ikut serta mengajukan lamaran dengan terbukanya peluang saat itu? Kurasa tidak, lagi pula adalah konyol untuk menyesali hal demikian selain memang saya tak pernah suka bermain-main dengan peluang di antara ratusan lebih orang-orang yang punya harapan yang sama. Mereka dengan ekspresi yang sama, penuh cemas, harap, impian yang mengilusi. Seaindainya saja bisa, semoga hidup ku tak dilalui dengan hal-hal demikian.

Lama menunggu Tiin, akhirnya ia keluar juga dan yang pasti dengan ekspresi yang sama. Dia telah mengajukan lamaran di dua perusahaan dan sekarang saatnya menunggu ketidakpastian tanpa kejelasan waktu. Kini, Tiin menantikan lagi untuk dirampas hidupnya. Pengalaman dari cerita tadi baginya adalah hal lalu yang telah terlewatkan dan sekarang untuk memulai lagi hal baru. Semoga saja Tiin menemukan hal yang benar-benar baru ataukah ia justru akan mengulangi hal sama, menambah daftar akan kejadian yang sama hanya di tempat yang berbeda.

Pertemuan kami hanya sampai saat itu. Ia pulang ke rumah sedang saya, seperti biasa menjalani rutinitas harian bersama teman-teman di Idefix. Paling tidak hari itu, Tiin telah membawa saya ke dunia yang berbeda. Seberapa besarnya perbedaan di antara kami ia tetaplah menjadi teman. Selalu.

2 Februari 08’

~ 0 komentar: ~

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget