setelah langkah keenam


It is you and me against the world. Don’t waste our time for tomorrow. With you by my side. I can do anything. You and me against the world.Goodbye to all of our sorrow (Mocca)



masa depan belum tertulis ...
mari melawan dunia

Latest Post

langkah belum henti


langkah belum henti

He touched me, so I live to know.That such a day, permitted so,I groped upon his breast. It was a boundless place to me, And silenced, as the awful sea Puts minor streams to rest. And now, I'm different from before, As if I reathed superior air, Or brushed a royal gown; My feet, too, that had wandered so, My gypsy face transfigured now To tenderer renown. (Emily Dickinson)


....................untuk tahun tahun yang telah terlewati.........................
..............dan mimpimimpi yang menunggu untuk diwujudkan.........
....................apakah kejutan yang akan kita temui?..........................

Senin, 04 Agustus 2008

menanti esok


menanti esok

setelah menerangi kegelapan...


Minggu di awal agustus…
di hari yang masih sangat pagi
Tanpa beranjak dari atas kasur dan mata yang telah cukup berpejam, kubuka kembali salah satu buku yang tergeletak berantakan di sekitarku. “Mankind and Mother Earth” huh, mengapa belum juga kuselesaikan buku tebal ini. seringnya mengulang bacaan oleh kebiasaan lama yaitu lupa menyelipkan pembatas buku pada akhir bacaan mungkin jadi penyebab selain karena buku ini memang cukup memusingkan.
‘sejarah’ , baru sekarang aku tertarik mendalaminya. Dengan latar belakang pendidikan eksak, menjadikanku sangat kering tentang jalannya proses kehidupan yang akhirnya membuat kita hingga saat ini. Kini, dengan sangat terlambat mencoba mengejar ketidaktahuanku, bukan karena apaapa ; nilai ataupun kewajiban namun karena aku benarbenar ingin mengetahuinya. Untuk itu ku lanjutkan lagi bacaan...
Kebisaan buruk melipat buku, yeah mau apalagi kutinggalkan jejak terakhir bacaan. Setelah beberapa halaman pun terlewati, tibatiba pikiran mulai mengajak menerawang , juga sebuah penyakit yang sering menghambat gairah membaca. Pikiran membawa kembali pada beberapa aktivitas akhir-akhir ini, sesuatu yang belum sempat kumaterilkan dalam tulisan. Entah apa yang mengingatkan untuk segera menulisnya , sebelum tak bisa lagi kuingat detildetilnya. Bagian yang akan menjadi sejarah hidupku, yang bergunakah suatu saat nanti ? jika pun, mungkin itu hanya untukku saja.

Perjalanan yang membuat merasa betapa nyamannya hidupku…

Minggu akhir Juli (I)
Perjalanan pertama menjadi seorang reporter sekaligus menjalankan fungsi Networking di sebuah media yang akan segera terbit segera. Lalu ku mulai liputan di sebuah pemukiman di pinggiran barat kota Makassar. Bersama partner kerjaku, kami memutuskan untuk menemui seseorang yang berdomisili di daerah tersebut, mungkin dia bisa membantu dan memudahkan kami untuk mewawacarai masyarakat di sana.
Ini bukan pertama kalinya aku ke tempat itu namun sempat harus kebingungan berputar-putar dan tersasar mencari rumah tujuan. Setelah mampu mengingat-ingat kembali, akhirnya kami sampai di depan sebuah lorong di antara area pemukiman yang sangat padat. Di atas rumah panggung, dengan ukuran sangat kecil dimana terdengar seakan ada retak saat melangkah di atas papan penopang rumah itu, membuat gerakku lebih hari-hati. Tak ada batas lagi antara ruang tamu dan ruang tidur, tak ada lagi celah antara rumah satu dan yang lain, hingga tak terasa sedikitpun tiupan angin yang mampu menyejukkan ruang nya hingga panas dan keringat mengalir dengan deras. Panas yang begitu mudah diserap oleh atap seng yang telah karat dan menyelipkan cahaya di antara lubanglubangnya. Namun, siapa yang menyangka hunian yang mungkin tak layak bagi kita adalah persinggahan yang sejuk oleh mereka yang telah lekat dengan perempuan yang akan kutemui ini. Sesaat kupandangi gambarnya pada bingkai yang terpampang , muda dan tegak saat akhirnya waktu terus membawa, kini ia dalam usianya yang telah mencapai kepala tujuh menyapa kedatanganku dengan sebuah pelukan hangat. Dikalangan aktivis mahasiswa, LSM dan organisasi kerakyatan siapa yang tidak mengenal dia, seorang ibu tua yang progressif kata mereka. Aku mengenalnya lebih dekat di sebuah pertemuan/forum pangan beberapa bulan lalu.
Anggota dari sebuah organisasi miskin kota, membuatnya mempunyai relasi dengan banyak orang. Lebih dari itu, ia hampir tak pernah absen dalam gerakan perlawanan , aksi dan setiap penolakan kebijakan. ia adalah bagian dari orang-orang begitu merasakan ketidakadilan hidup dalam system seperti ini.
“Dato” itulah panggilan buatnya , sosok yang kurus dan keriput tampak jelas di wajah menunjukkan betapa usianya yang sudah lanjut. Namun suaranya yang khas dan celoteh khas para orang tua tidak menunjukkan kelemahan dibalik usianya itu. Dalam setiap aksi, ia selalu menjadi orator dengan suaranya lantang. Latar belakang pejuang, ia selalu menyebut bangga.
Bagi mereka yang mengenal , dia adalah sosok ibu yang selalu mengayomi anak-anaknya. Perhatian bahkan mungkin petuahpetuah lama selalu menjadi perbincangan saat bertemu dengannya, namun kadang pula gertakan dan juga marah dilayangkan jika ada hal-hal yang menurutnya tidak baik . yah, begitulah orang tua mereka memaklumi. Tapi apa yang membuatnya lekat dengan banyak orang adalah dirinya yang beda dengan para orang tua yang lain, dalam usianya yang semakin lanjut tak mengurung keinginannya untuk selalu bergerak dan keberaniannya melawan apa yang baginya telah menindas.

Belum lama mengenalnya kini kami terasa lebih dekat , setelah kedatanganku hari itu yang untuk kedua kalinya. Hampir tiap saat ia mengirimkan pesan singkat atau menghubungiku hanya sekedar menanyakan kabar. Setelah itu pula aku mulai mengenalnya sedikit lebih jauh. Hingga ada sesuatu yang akhirnya sedikit menganggu pikiranku : akankah ia tetap bertahan dalam kondisinya saat ini?

Setelah saat yang bersamaan dengan kedatanganku hari itu, dua orang ibu datang menemuinya. Mereka dengan tampilan sangat kontras : putih; bersih; terawat, hadir dengan penuh senyum dan keramahan. Lalu dengan lembutnya sebuah rayuan-rayuan terucap, Sebuah hadiah pun kini telah berada di tangan Dato’ . Tak kusangka bisa kusangsikan langsung sebuah lobi-lobi politik terjadi di ruang itu, sesuatu yang membuatku geleng-geleng kepala saat jilat menjilat dan saling menjatuhkan lawan begitu gamblangnya terucap dari mulut kedua perempuan tadi. Mereka yang hanya menjadi kacung demi tercapainya kursi kekuasaan untuk sang suami. Kucium baunya obsesi kekuasaan, dan menambah yakin akan absurdnya demokrasi.

Apa yang terjadi ? kini perlawanan dipertaruhkan, Saat pilihan menawarkan dirinya : akankah keyakinan bertahan? Atau menyerahkan harapan pada dua pasang calon yang gambarnya lekat pada pin kedua perempuan tadi?
Akankah sebuah hadiah tak bernilai itu mengubah dirinya? entah apa yang harus kusampaikan, hanya yakin bahwa “seberapa lama kah senyum dan kebaikan dari mereka akan bertahan?” Lihat saja saat mereka usai bertaruh dan meraih lagi kemenangannya, Dato’ dan orang-orang yang dibawanya dalam harapan utopis tak akan membuat mereka beranjak dari kumuh hidup saat ini.

Kuharap kau tak menolak kalah……….

Minggu akhir Juli (II)
Atas bantuan Dato’ akhirnya aku bisa memulai wawancaraku. Ia mengantarku di sebuah tempat yang tak jauh dari rumahnya yaitu sekitar Pesisir Pantai barat Makassar. Inilah sisi lain dari sebuah kota yang dipaksa menjadi metropolitan. Apa yang kita temui disini adalah perumahan-perumahan kumuh dan padat, tumpukan sampah, lorong-lorong sempit, lapak-lapak jajanan, riuh lari anak-anak kecil dan bau air tambak yang telah pekat menghitam sepanjang pinggirannya. Sungguh bagian yang sangat kontras dibalik dinding beton yang kini telah berdiri kokoh gedung-gedung tinggi, perumahan mewah dan kawasan resort yang hampir seluruhnya kini disulap menjadi kawasan elit setelah membabat habis lebatnya hutan mangrove dan menyumbangkan racun serta logam berat pada sumber pencaharian nelayan disana. Bagi pandangan tak mengenakkan di sekitarnya, tinggal bersiap diperhadapkan pada sebuah keteraturan setelah sebuah rusunawa berdiri kokoh, tampungan bagi mereka yang masih sanggup untuk menyewanya.

Dan tak ada yang lebih menyedihkan saat kami bertukar cerita bersama mereka yang mencoba terus bertahan hanya demi sebuah kalori dan kehangatan di bawah atap. Ibu-ibu yang bekerja seharian penuh menjaga jajanannya, suami yang tak kunjung pulang bersama perahu kecilnya dengan harapan se ember ikan yang mampu dijualnya, atau mereka yang masih berada dibalik bangunan menjadi buruh yang kadang terpaksa mengikut sertakan anak demi tambahan selembar rupiah. Dan anak-anak kecil yang walau tampak riang, tak sadar sedang menghirup gas berbau dari sampahsampah yang menumpuk disekitarnya, dari kotoran yang melekat pada telapak kaki dan tangan yang tak beralas, serta telah seberapa banyak logam merkuri telah bersarang di tubuhnya dari lezatnya kerangkerang yang telah tercemari. Semua tampak beriringin dengan laju mutasi immun tubuh mereka untuk dapat beradaptasi hingga seberapa lama fisik mampu bertahan dalam kekebalan.

Dalam hari-hari penuh ketakutan

masih kah esok, aku berari-lari disini?



Minggu akhir Juli (III)
Rumbia , 28 juli 2008

Akhirnya aku bisa pergi lebih jauh.
Kini di sebuah desa yang sungguh sejuk dan subur , sesuatu yang tak pernah kusangka dimana saat lalu , desa yang begitu damai ini menyisakan sebuah kesuraman dan kengerian. Saat bus berhenti didepan rumah yang telah hancur itu, ingatanku kembali pada sebuah rekaman video dan lagi lagi hanyalah kebencian yang terlintas.
Aku memaksa membalik pikiranku dan tiba-tiba sesuatu terjadi ?
Kusaksikan rumah itu kembali kokoh, bayi kecil itu masih menyusu dalam peluk hangat ibunya, dan bapaknya kembali bertani memanen sawah yang telah menguning serta para kerabat datang berkumpul, saling bersua membawa sayuran dan buah segar.. ..

Menit tak cukup,

suara ledakan terdengar , teriak mendengung, tangis tak kuasa menahan, kekejaman terus membabibuta dan akhirnya …

…………dua nyawa mengucapkan perpisahan………………

Pelukan perempuan itu dan air mata yang dialirkan dipundakku, tak bisa lagi mengembalikan khayalan. Namun kuhirup ketegaran dari mereka, yang begitu kuat mempartahankan tanah hidupnya walaupun harus diterpa kematian demi kematian .

Tak ada yang lebih hina bagi mereka yang hanya bisa melontarkan peluru…..BIG FUCK…….


Minggu akhir juli (IV)
Kebahagian yang terselip

Kini kota yang menjadi pusat dari perekonomian kawasan indonesia timur ini, betapa cepatnya dipermak menjadi sebuah kota beton. Segala upaya dilakukan demi sebuah tampakan dan membangun citra guna mengalirnya arus investasi, harapan satu-satunya sebuah kesejahteraan toh kenyataannya tak perlu kita pertanyakan lagi. Saat semua tempat / sarana diprivatisasi dan modal menjadi penguasa tertinggi. Menikmati sesuatu secara cuma-cuma jarang bisa ditemui lagi. Apapun kini menjadi komoditas, bahkan sesuatu yang sangat esensi dari kebutuhan manusia itu sendiri : makanan, tempat tinggal, kesehatan, spiritual, pendidikan , rasa aman, bahkan cinta kasih pun tak luput menjadi sebuah daya jual.

“Rasa cinta “ ya, komoditas yang paling laris terjual. Begitu pula dengan rasa cinta yang hadir malam itu. Tak ada pilihan, saat kita pun harus membeli sebuah kenyamanan. Dari sebuah rumah tua di sudut jalan yang kini menjadi mini resto.
Untuk kesekian kalinya, kita kembali lagi ketempat itu. Memilih tempat terbaik di sudut balkon bersama secangkir kopi dan roti bakar keju , cukup untuk membeli berjam-jam kenyamanan. Malam, yang membuat kita seolah bertemu kembali. Bukan secara fisik karena kita tak pernah absen, namun pertemuan yang terjawantahkan saat diam menyela dan sebuah garis tercipta dari pandangan, lalu saling meresapkan hangat dari setiap sentuhan halus. Tak ada perang malam itu, walaupun keraguan ingin meletupnya. Segala upaya untuk selalu memadamkannya
….trust me……trust me……………..
Kenyamanan yang terbeli telah habis waktu. Beranjak dan melaju . tak pernah kulepas kenyamanan itu dari atas pundakmu, dan lingkar tubuh yang terekat. Kita pulang di tempat yang sama . di tengah lelah akhirnya tak terasa apaapa lagi di sisa waktu malam itu. Untunglah pagi segera membangunkan lewat tiupan nafasmu yang menyapu mataku…

Di pagi yang menghabiskan banyak energy…

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget