Malam ini, dari seluruh kelelahanku. Menjalani hidup yang ingin kutemui keindahannya walau harus memicu adrenalin dan meresap energy tubuhku. Ku mulai kembali catatanku ditemani syair dan nada yang menarik kembali waktu-waktu lama yang terlewati . Entah rasa apa yang kutemukan saat ini, saat merinding mengingat dan membayangkan saat – saat yang luar biasa.
Akhirnya kutemukan waktu bersama diriku, kuluapkan seluruh emosi tak pernah bisa kukendalikan. Kuluapkan dalam ketenangan , kuhargai , kumanca , kubantu bernafas dengan tenang, kubiarkan terdiam dan kulinangkan airmatanya yang tertahan oleh kekuatan.
Malam ini , ku membawanya berpetualang , mengendarai alunan-alunan nada lembut, kutembuskan waktu ke tempat yang dirindukannya.
kubawa ia berayun di bawah pohon tua di halaman luas, dimana sungai besar terbentang dihadapnya. Sungai tenang yang telah menenggelamkan tubuhnya yang berusaha berteman , namun hidup menariknya kembali.
Iya terus berayun, menikmati angin yang terus mengibas rambutnya. Kulihat lapang dan kelegaan, kulihat kepolosan, padanya kulihat kembali..
Ku terus diam memandangnya, ia tak pernah berbalik sama sekali..
Ia tetap tinggal , menjauh, bertahan untuk tidak melangkah pada hidup yang akan dilaluinya..
Aku ”waktu” mengalah untuknya ...
Jumat, 13 November 2009
Pinggiran kota, di sebuah kawasan pesisir yang kumuh. Pertemuan sore itu, berkumpul ibu-ibu pencari kerang yang kini bersiap beralih peran setelah tempat mencari mereka tergusur oleh revitalisasi dan desakan proyek-proyek pembangunan .
Hadir di antara mereka, menimbulkan sebuah perasaan miris yang sejak lama tertanam sebuah kebencian. Bukan miris atas kemiskinan mereka, bukan pula karena ancaman yang akan mereka hadapi nantinya. Menafikkan rasa iba atas demikian , ada sesuatu yang membuat saya tak betah dan terganggu. Hampir di setiap sudut kota ini, hal tersebut selalu saja kutemui.
Kukeluarkan selembar kertas, hendak menuliskan daftar hadir di pertemuan saat itu. tak lama kemudian satu persatu ibu-ibu tersebut mendekat. Masing-masing mereka menyebutkan namanya. Tak sempat kutuliskan seluruhnya, ibu lain datang bersamaan dan menawarkan pula nama-nama mereka, bahkan nama-nama yang tak hadir saat itu di tawarkan pula. saya mulai kebingungan, merasa sedikit aneh. Ada apa dengan ibu-ibu ini? seantusias ini mereka mengelilingi saya.
Pertemuan di mulai,sebuah sosialisasi singkat atas kondisi pesisir dan antisipasi akan ancaman kedepan di wilayah tersebut dampak sebuah pertalian erat birokrasi dan kapital .
Saat pertemuan tersebut berlangsung seorang teman berbisik. Sedikit akhirnya saya tahu, tingkah ibu-ibu itu yang sepanjang pertemuan tak membuat saya nyaman.
Satu lagi kutemukan alasan, Kemuakan atas tatanan yang teramini dan tereproduksi secara terus menerus. Sistem yang mengakar di seluruh linih kehidupan bahkan di dalam watak para korbannya. Seperti watak para ibu yang hadir sore itu, watak mereka yang telah terselubungi tendesi nominal. Tak bisa disalahkan.
Bermukim daerah empuk investasi dan sirkulasi modal dalam kehidupan kumuh yang dimiskinkan. Lalu desakan peradaban yang tak bisa dimbangi serta hasrat atas impian yang selalu injeksikan dalam hiperealitas. Celah yang mudah bagi sejoli birokrasi dan kapital meluluhkannya. Masuklah lembaga-lembaga pemberi harapan, seolah membawa titik terang atas problem mereka, senilai nominal adalah deal tanpa tawar menawar. Satu persatu mereka datang , perlahan dan pasti menyisipkan watak "tangan menengadah". Akhirnya terbentuk dan tertanam bagi para korbannya,tereproduksi terus menerus.
Tahun ini, di pesisir pantai ini akan dibangun proyek megastruktur, ambisi latah pemerintah. Menyulap kawasan kumuh menjadi negeri impian setelah membangun sebuah pusat permainan termegah. Tempat bermukimnya para nelayan-nelayan pencari kerang, yang kini semakin berkurang oleh hilangnya tempat mencari, akibat penimbunan besar-besaran pesisir pantai. Entah seperti apa kehidupan mereka selanjutnya, setelah transaksi diterima setelah sebagian pula telah dipersiapkan menjadi buruh-buruh industri.
Mungkin tak lama lagi, kehidupan kampung ini akan benar-benar lenyap, sayangnya watak yang tertanam telah mendarah daging...
Hadir di antara mereka, menimbulkan sebuah perasaan miris yang sejak lama tertanam sebuah kebencian. Bukan miris atas kemiskinan mereka, bukan pula karena ancaman yang akan mereka hadapi nantinya. Menafikkan rasa iba atas demikian , ada sesuatu yang membuat saya tak betah dan terganggu. Hampir di setiap sudut kota ini, hal tersebut selalu saja kutemui.
Kukeluarkan selembar kertas, hendak menuliskan daftar hadir di pertemuan saat itu. tak lama kemudian satu persatu ibu-ibu tersebut mendekat. Masing-masing mereka menyebutkan namanya. Tak sempat kutuliskan seluruhnya, ibu lain datang bersamaan dan menawarkan pula nama-nama mereka, bahkan nama-nama yang tak hadir saat itu di tawarkan pula. saya mulai kebingungan, merasa sedikit aneh. Ada apa dengan ibu-ibu ini? seantusias ini mereka mengelilingi saya.
Pertemuan di mulai,sebuah sosialisasi singkat atas kondisi pesisir dan antisipasi akan ancaman kedepan di wilayah tersebut dampak sebuah pertalian erat birokrasi dan kapital .
Saat pertemuan tersebut berlangsung seorang teman berbisik. Sedikit akhirnya saya tahu, tingkah ibu-ibu itu yang sepanjang pertemuan tak membuat saya nyaman.
Satu lagi kutemukan alasan, Kemuakan atas tatanan yang teramini dan tereproduksi secara terus menerus. Sistem yang mengakar di seluruh linih kehidupan bahkan di dalam watak para korbannya. Seperti watak para ibu yang hadir sore itu, watak mereka yang telah terselubungi tendesi nominal. Tak bisa disalahkan.
Bermukim daerah empuk investasi dan sirkulasi modal dalam kehidupan kumuh yang dimiskinkan. Lalu desakan peradaban yang tak bisa dimbangi serta hasrat atas impian yang selalu injeksikan dalam hiperealitas. Celah yang mudah bagi sejoli birokrasi dan kapital meluluhkannya. Masuklah lembaga-lembaga pemberi harapan, seolah membawa titik terang atas problem mereka, senilai nominal adalah deal tanpa tawar menawar. Satu persatu mereka datang , perlahan dan pasti menyisipkan watak "tangan menengadah". Akhirnya terbentuk dan tertanam bagi para korbannya,tereproduksi terus menerus.
Tahun ini, di pesisir pantai ini akan dibangun proyek megastruktur, ambisi latah pemerintah. Menyulap kawasan kumuh menjadi negeri impian setelah membangun sebuah pusat permainan termegah. Tempat bermukimnya para nelayan-nelayan pencari kerang, yang kini semakin berkurang oleh hilangnya tempat mencari, akibat penimbunan besar-besaran pesisir pantai. Entah seperti apa kehidupan mereka selanjutnya, setelah transaksi diterima setelah sebagian pula telah dipersiapkan menjadi buruh-buruh industri.
Mungkin tak lama lagi, kehidupan kampung ini akan benar-benar lenyap, sayangnya watak yang tertanam telah mendarah daging...
Latest Post
Mengalah
by
livingmylife
Mengalah