November , Minggu Pertama

Menjadi manusia yang manja, inilah hasil dari sebuah peradaban. Seperti yang ku alami saat lalu, pertama kali beranjak di sebuah perkampungan pesisir. Selama dua hari di tempat itu , penderitaan terberat adalah saat keinginan untuk membuang seluruh hasil-hasil metabolisme tubuh yang tercerna sempurna melewati usus dan lambung. Yang masuk begitu lahapkanya saat ikan bakar besar tersaji dan suasana yang serasi . tanpa berfikir panjang ada sebuah hal yang terlupakan kemana sisa-sisa metabolisme ini akan terbuang. Sehari memaksanya untuk tetap bertahan pada persinggahan terakhir menyebabkan perut ini mulai tak karuan. Saat dimana ku hanya merindukan sebuah ruang kecil dirumah yang berlimpah air dan melepaskannya dengan nyaman. Dan tidak satupun kutemukan hampir di setiap rumah dan ruang umum di kampungi ini. Hanya ada dua pilihan menyelesaikannya di pinggir laut luas dengan limpahan air atau memilih di ruang terbuka di antara pohon-pohon yang hanya terlindungi kain-kain kecil yang belum lengkap tanpa membawa seember air plus dengan ketakutan adanya aktifitas yang berlalu lalang di sekitarnya . Atau tak ada jalan lagi untuk tetap bertahan pada pilihan ketiga membuatnya tetap bersarang dengan perasaan dan tingkah yang makin menjadi. Huh…….
Ada apa dengan semua orang-orang ini? Mereka tampak baik –baik saja, tanpa sebuah fasilitas penting itu? Laut yang terbentang luas atau sarang-sarang kecil di belakang rumah nyamankah untuk mereka? Saat pemerintah terus mengkampanyekan penggunaannya untuk kebersihan dan kesehatan hampir ke seluruh pelosok-pelosok tanah air. Mengapa begitu langkah di tempat ini, herannya lagi di sekelilingku tampak bersih , tak sedikitpun sampah atau bebauan yang bisa terciumi. Para penduduknya juga tampak sehat dan bugar.
Hingga ucapan terucap dari salah seorang di sana sebagai jawaban yang simpel “tena na cukup lima manni’, nakanre mi juku a di lau atau biawaka ri bokona balla” tidak cukup lima menit pasti dimakan ikan atau biawak di belakang rumah.
Yeah, betul juga namun ucapan tersebut tetap membuatku bertahan pada piliha ketiga. Untung hanya dua hari tugas yang harus dilalui di tempat itu. Sesampai di rumah adalah menuntaskan masalah berat ini dan kelegaan luar biasa saat isi perut melepaskan semua beban-bebannya. Di atas kloset yang nyaman dan air yang terus mengalir dari selang shower cukup dengan menekan jempol masalah ini pun terselesaikan dengan cepat.
Tapi benar kiranya masalah ini telah selesai? Ehmm..inilah rantai masalah yang tak pernah putus. masalah besar sesungguhnya lah yang terjadi pada diri kita dan pastilah sebagian besar yang lainnya. Bukan mereka, orang-orang di kampung itu yang mungkin tak pernah bermimpi akan hal-hal yang menjadi candu pada diri kita dan menjadikannya sebuah masalah. Produk-produk peradaban telah membuat banyak manusia berevolusi menjadi mahluk-mahluk manja dan kehilangan sisi-sisi nya yang liar. Bahkan telah menyebabkan kerapuhan pikir dan hasrat untuk terus mengejar lajunya. Lihatlah hanya dari sebuah ruang kecil yang bernama “Kloset” waktu yang mungkin hanya sekian menit saja kita berada di dalamnya . ada berbagai perangkat komoditi yang tak habis ide untuk terus memperbaharui peradaban ini. Bahkan di beberapa penjuru dunia , tak lagi kita temui sebagaimana esensinya karena tak mampu membeda saat berada di atas sofa. Di sini, kita sedang memburu saatnya tiba mungkin.
Lalu bagaimana dengan orang-orang di kampung ini di kemudian harinya?

Minggu Kedua
Kembali lagi…
Empat hari adalah jadwal yang harus dijalani kembali di kampung ini dan pikiran atas kejadian yang lalu masih menggangu pikiran. Jalan satu-satunya adalah harus bersiap akan segala kondisi yang ada karena tak mungkin mengambil pilihan ketiga bukan?
Dan tiba di rumah yang menjadi posko , pusat aktifitas yang akan dijalani tiap minggunya di perkampungan petani dan nelayan ini. Saat beranjak ke ruang belakang rumah, tampak ada kesibukan oleh beberapa orang sedang menyusun batu bata dan mencampur adonan semen.Kerja yang terkesan sangat terburu-buru. Tanpa perlu bertanya, kesenangan yang mengelabui penyesalan , ruang kecil ini telah bermula di tempat disini. Satu lagi rumah di dusun ini , menambah peradabannya. Hanya karena kemanjaan ku dan orang-orang yang bersama untuk beberapa waktu saja disini.
Inilah hebatnya, peradaban akan selalu menang dimana pun ia berada. Dan kamilah agen-agen sukarela yang terus meniupkannya entah dimana lagi….

Dusun Manyampa. Galesong- Takalar
22 November 2008

3:41 wita….saatnya semua terlelap dan begitu nikmatnya untuk mengalunkan kata-kata, berkat dan di antara produk-produk peradaban ini…
Good nite me….sleep tite dear …
miss u, oh my sweetlovely piglet…

Latest Post

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget