jenuh...



seandainya saja...
aku ingin bertukar tempat
entah dengan hidup siapa
agar bisa merasa
betapa sesungguhnya
hidupku adalah bahagia
atau betapa hidupku
sangat menjenuhkan...

Latest Post
Jumat, 14 Maret 2008

PERAN GANDA PEREMPUAN


PERAN GANDA PEREMPUAN

Warisan sistem patriarki, telah menggariskan perempuan hidup dalam ruang-ruang domestik. Mengurus keluarga yaitu suami dan anak-anaknya. Melahirkan generasi, membesarkan, mencukupi kebutuhannya, mengatur keuangan dan melayani suaminya. Warisan ini kemudian digandeng oleh sistem neoliberalisme yang tonggak nyawanya sangat bergantung pada jalannya akumulasi modal. Kolaborasi keduanya berjalan sangat efektif dalam sebuah pabrik sosial. Ini menggugurkan analisa bahwa neoliberalisme hadir untuk menggantikan sistem feodalisme dimana patriarki adalah bagiannya. Karena kenyataannya kedua sistem ini bisa saling bergandengan tangan.

Dalam ruang domestik, perempuan menjadi pusat dari sebuah pabrik sosial. Kesemua pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut tidak diupah namun justru bertindak sebagai tenaga yang sangat berkontribusi bagi sistem kapital.

Dalam sebuah pabrik sosial, kelas pekerja bukan hanya mereka yang secara aktif bekerja atau berproduktivitas dalam level pabrik individual (perusahaan, birokrasi, institusi, dll. ) dan tidak pula mengaju pada diupah atau tidak diupahnya mereka. Namun sebaliknya mereka yang tidak bekerja atau mengganggur justru eksis pada level pabrik sosial. Karena bekerja maupun menggangur hampir seluruh aktivitas dalam sehari dihabiskan dalam rangka akumulasi modal. Para pekerja upahan menghabiskan jam-jam tersisanya ‘selepas kerja’ untuk menyegarkan diri mereka untuk kembali bekerja. Yakni dengan makan, tidur, minum, menonton film, screwing. Semuanya itu adalah aktifitas penting yang kita lakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk bekerja keesokan hari. Kesamaan fungsi ini mungkin lebih esensial bagi ‘pengangguran’ sehingga mereka tidak akan mengarahkan kekuatan yang mereka lakukan melawan modal.

Disinilah peran perempuan sebagai pekerja tak diupah dalam sebuah keluarga sebagai pusat pabrik sosial. Perempuan menanggung beban dengan menjamin suami mereka agar tetap berproduktivitas sebagai pekerja disamping pula membesarkan, melindungi dan mempersiapkan anak-anak mereka untuk kelak menjadi pekerja, yaitu dengan memasukkan mereka dalam institusi pendidikan (sekolah). Belum lagi beban mereka untuk mengatur keuangan keluarga agar tetap mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup dan tidak terjadi inflasi. Aktivitas ini juga adalah bagian dari akumulasi modal (konsumsi, investasi, dll.)

Sejak berabad lamanya, kenyataannya telah muncul kesadaran akan posisi perempuan sebagai objek yang tertindas. Kesadaran ini telah melahirkan banyak tokoh-tokoh perempuan yang berjuang menyuarakan kebebasan atas perempuan. Ini beriringan pula dengan lahirnya gerakan-gerakan emansipasi sampai gerakan feminis sebagai sebuah gerakan perlawanan atas segala bentuk opresi terhadap perempuan. Beberapa gerakan feminis lahir dan terbagi berdasarkan konteks wilayah dan objek analisa yang menjadi sumber opresi baik secara sosial ataupun biologis. Lahirlah gerakan feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis, feminis eksistensialis, feminis posmodernis, ekofeminis dan lainnya.. Namun gerakan tersebut, tidak sepenuhnya memberikan kebebasan atau melepaskan perempuan dari segala bentuk jeratannya. Yang ada, perempuan bukannya terbebas namun hanya berpindah dari satu bentuk opresi ke opresi lainnya bahkan justru menambahnya dalam eksploitasi baru. Emansipasi dan gerakan feminis liberal, adalah awal dari gerakan perempuan dalam melawan sistem patriarki yang telah lama menindas kaum perempuan merupakan gerakan yang paling populis dan masih menjadi perjuangan hingga saat ini. Para emansipatoris ataupun feminis liberal memperjuangkan agar perempuan tidak hanya diberi ruang pada wilayah-wilayah domestik namun juga ruang-ruang sosial. Dan hasilnya adalah perempuan masa kini telah mendapatkannya dalam kursi-kursi politik, mendapat label dan identitas, serta menjalani berbagai bentuk profesi.

Sebuah ironi, perempuan mungkin telah merasa mendapatkankan haknya dalam peran-peran tersebut namun yang terjadi sesungguhnya perempuan justru menambah peran dan bebannya dalam sebuah pabrik sosial. Sebagai pekerja diupah dalam level pabrik individu (pekerja ataupun objek eksploitasi) dan sebagai pekerja tak diupah dalam pabrik sosial sebagai ibu rumah tangga. Dan semua aktivitas tersebut tidak lepas dari akumulasi modal.

Lalu apakah apakah yang harus dilakukan perempuan dalam melepaskan diri dalam beban gandanya dalam sebuah pabrik sosial? Haruskah ia meninggalkan perannya sebagai ibu? Ataukan haruskan ia menuntut upah atas kerjanya itu? ...

Ada sebuah jawaban panjang, dan ini tak akan pernah terjawab saat kita masih terjebak dan berputar dalam cara pandang dalam tatanan atau sistem seperti ini. Saatnya kita membayangkan sebuah tatanan baru yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya, sebuah anti tesis dari yang ada saat ini tanpa dominasi,hegemoni dan hirarki. Yang tak lebih dari sebuah pemaknaan akan hidup secara meluas dan hakikat sebuah keluarga secara khusus. Atau mari kita coba melihat kembali kehidupan peradaban silam dimana perempuan dan laki-laki hidup damai dalam tatanan hidup tanpa kerumitan.

Women's Day
Buat Ibuku yang selalu memaksa anaknya menjadi buruh


Reaksi atas diam


Reaksi atas diam

Do what you wanna do, say what you wanna say , NOW! Don’t be affraid.

Entah kenapa beberapa hari ini, kejadian demi kejadian datang bergantian dan begitu dekatnya. Sebuah resiko dari aktivitas yang tak biasa akhirnya menemukan waktunya. Sebuah bentuk resistensi dari kungkungan yang tak hentinya meremukkan banyak kehidupan, reaksi kecil atas segala alienasi dan kebodohan yang telah menidurkan banyak orang ataupun sedikit sentilan atas kemapanan yang telah melaparkan banyak manusia. Dan kemarin, apa yang terjadi di gerai-gerai ilusi pusat perbelanjaan, dan pesan-pesan yang terbaca dalam perjalanan hanyalah sebuah bentuk ketidak tahanan akan hidup yang tak pernah berputar ini.

Lalu, apakah ini adalah sebuah kesalahan ataukah penyesalan saat sesuatu yang tak terbayangkan, akhirnya terjadi? Saat kita harus melalui bagian-bagian menyulitkan dan mendebarkan dibalik ruang-ruang menyesakkan, di antara zombi-zombi pelindung kejayaan. Menyembunyikan diri, menjadi biasa, menurunkan suara, dan bermuka manis dalam kebencian demi kebebasan yang tak akan pernah mereka beri.

Ini hanya sentilan kecil teman, betapa lemahnya kita untuk menjadi rapuh karenanya. Tanyakan kepada mereka yang tertawa dan menyengir, bisakah mereka melihat rasa dosa dan taubat?. Masih banyak jalan yang bisa dilalui untuk disusuri. Katakan sia-sia bagi mereka yang mengasihani, tutup telinga bagi mereka yang terus meneriakkan utopis. Impian telah memberikan peta untuk keluar dalam labirin.

Namun tak bisa dipungkiri, kejutan yang mendebarkan ini tetaplah menjadi sebuah sandungan dalam perjalananan kita yang mungkin sangat terburu-buru.

Salut buatmu teman !!!
Mata terlalu lama terjaga biarkan ia tidur sejenak. Kita butuh energi baru untuk memulainya lagi..


Dia adalah seluruh bulan


Dia adalah seluruh bulan

Dia adalah Desemberku, yang memberi warna di antara hitam putih hidupku
Dia adalah Desemberku, yang menurunkan hujan dalam kemarau panjang hidupku
Dia adalah Desemberku, yang menunjukkan belok atas jalanku yang lurus
Dia adalah Desemberku, ya

ng menunjukkan bidadari di atas pelangi yang tak dapat dijangkaunya
Dia adalah Desemberku, yang menjadikan cinta luar biasa
Dia adalah Desemberku, yang selalu membuatku berpulang pada lelaki yang telah duduk lama di taman. Dia yang telah lama menungguku.
Karena lelaki itu adalah Januariku..
Februariku..

Maretku..
Semua bulan dan hari yang mengisinya

yang menjadikan tiap detik adalah hidup...


Ego


Ego

Suaraku tak indah, mungkin kau telah tahu...
Jariku tak bisa memainkan gitar, kau telah letih menuntunku...

Tapi tahu?ingin sekali aku memainkan gitar dan bernyanyi untukmu
Karena bicara tak ampuh lagi memadamkan amarah malam itu..
Tuk mengembalikan lagi senyummu seperti sebelum adanya

Seandainya saja kita tak singgah menikmati minuman hangat
Tentu tak ada perbincangan
Yang tak cukup semenit mengubah malam menjadi panas

Malam itu, kita

awali dengan sangat indah bukan?

Seandainya saja,
Pasti aku tak kehilangan senyum mu saat ini...

Maafkan aku


Kamis, 13 Maret 2008

Terbangun untuk tertidur


Terbangun untuk tertidur

Baru saja aku ingin terlelap
sebuah kejadian membangunkanku
mataku harus terjaga lagi
dug..dug..dug...gemetar, panik akan kejadian tak terduga
hari yang melelahkan
fiuuh, dan akhirnya terlewati
walaupun tak sepenuhnya
kini aku bisa tertidur kembali
di atas kasur kotor dan berantakan
namun sungguh terasa nyaman malam ini

Lelah...


Lelah...

Melelahkan...
Aku ingin tidur..
Lama..
dan lelap..

Teman Koridor Laut


Teman Koridor Laut

Setelah bertemu dengan Tiin teman sekolah dulu, kini aku dipertemukan lagi dengan teman-teman sewaktu kuliah. Suatu kebetulan karena beberapa waktu yang lalu aku begitu rindu dengan mereka. Pesan singkat kuterima dari Oke’, teman mungkin yang paling intens menghubungi selama ini. Kami hanya bertemu sesekali saja jika ia sedang ada di Makassar. Pekerjaan dan kuliah membuatnya mesti bolak balik Makassar-Sulbar. Sebuah pesan mendadak yang mengabarkan tentang rencana pertemuan dengan teman-teman, untunglah tidak ada aktifitas yang berarti jadi akupun mengiyakan, lagipula akan sulit mendapat waktu untuk bertemu lagi dengan mereka.

Rencana hari itu, anak-anak ingin berkumpul di rumah Tia salah satu temanku, karena kebetulan ia sedang ada di Makassar. Tia yang usai menikah harus menetap di Jakarta dan mengikut kerja suami di sana, balik ke Makassar karena masa hamil 9 bulan dan ingin melahirkan di sini. Saat Tia menikah saya dan Oke’ tak sempat hadir saat itu jadi akhirnya kami memutuskan untuk membeli sebuah kado sebagai penggantinya. Setelah membuat janji aku bertemu dengannya di depan komleks rumahnya. Taksi melaju membawa kami ke sebuah MP, Mall paling besar dan cukup populis di kota ini .

MP sangat penuh hari itu, apakahkah karena hari Minggu atau mungkin tempat ini memang setiap saat dipenuhi orang?. Kami masuk di sebuah toko pakaian, tidak sulit mencari kado karena sama-sama telah tahu pilihan yang tepat : seperangkat kebutuhan bayi. Satu paket pakaian dan sepaket lagi bantal dan selimut bayi. Yang menyulitkan hari itu karena umumnya di toko atau gerai pakaian bayi , kita hanya diberi dua pilihan warna, biru atau pink. Pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan sebuah simbol yag entahlah berawal dari mana. Mau tak mau kami terjebak dengan dua pilihan warna itu karena kami pun tidak tahu jenis kelamin bayi yang dikandung Tia. Dengan analogi yang umumnya distandarisasi orang-orang saat ini, bahwa perempuan lebih mungkin memakai celana dan laki-laki yang pastilah tak akan mau memakai rok (kecuali terjadi sedikit kelainan), makanya kami memilih warna biru. Walaupun sebenarnya saya terus bertanya, mengapa ada simbolisasi seperti itu. Sudahlah, terima beres saja. Setelah membayar dan kado terbungkus, kupikir kami akan segera menuju ke rumah thia. Tapi tidak , kami berlanjut ke sebuah tempat yang sungguh mengerutkan dahiku, sesuatu yang merubah pandanganku tentang Oke’ yang kukenal dulu, dia yang kini telah menganggap bahwa perawatan tubuh adalah bagian penting dari hidupnya. Istilah yang disebut orang, Metroseksual? Ya , mungkin. Tak banyak berkomentar dan membuatku sedikit bersabar untuk menunggunya melakukan perawatan rambut (Creambath, dll) di sebuah salon yang cukup terkenal masih di MP. Secara ekonomi boleh dibilang ia telah mapan, bekerja dalam proyek-proyek besar di daerah yang baru saja menjadi propinsi. Sul-Bar, propinsi baru yang kini menjadi lahan subur untuk mengalirnya dana-dana untuk proyek pengembangan daerah. Peluang yang entahlah ia masuk lewat mana, selain memang ia berasal dari daerah itu. Aku tak pernah tahu seberapa besar penghasilannya tapi yang kutahu ia telah berhasil membeli sebuah mobil dan mampu melanjutkan S2 dan tentu saja telah mengubah pola hidupnya dari kafe ke kafe, hotel ke hotel, salon ke salon, kota ke kota dan apapun yang mudah dijangkau dengan uang, kecuali satu hal yang belum berubah dari darinya adalah belum pernah kulihat ia menggandeng seorang perempuan selain teman-teman dan juga saya yang memang kami telah dekat semenjak awal kuliah. Ia mungkin sedikit malu membahas itu denganku.

Seperti keadaan di luarnya, salon juga juga ramai pengunjung yang umumnya adalah anak-anak ABG. wajah-wajah cerah namun seperti pada umumnya mereka tampak seragam dalam potongan rambut dan tampilan berpakain yang hampir sama. Cukup menyenangkan pula memperhatikan tingkah mereka, selain memang tak ada pilihan lain saat menunggu. Hampir sejam, kini ia dengan tampilan rambut baru. Sebagai terima kasih telah menunggunya, ia mentraktirku di sebuah kedai durian. Pertama kali kurasa kekenyangan dengan buah sebesar itu,. Setelahnya barulah kami menuju rumah Tia.

Kami tiba di sana menjelang magrib. Mungkin umum, saat kita telah lama berpisah dan bertemu kembali akan diawali dengan teriakan kecil, berpelukan dan saling tertawa, itu pula yang terjadi malam itu. Tia, kini lebih gemuk dengan perut buncitnya, veron dengan tampilan baru memakai kerudung, Lukman masih dengan panggilan panjang karena tubuhnya yang tinggi, dan Edi yang kusebut ia sapi bermata telur karena matanya yang bola. Lalu yang lain ? tidak seperti dugaanku karena mereka tak hadir semua jadi Imran berinisiatif untuk berkumpul lagi besok dan ia akan menghubungi semua teman yang ada di sini. Malam itu kami saling bercerita dan menghabiskan kue serta bakwan goreng yang dibuat Tia.

Besoknya kami bertemu kembali, aku berangkat bersama Oke’ lagi. Menjemput Tia lalu menuju sebuah kafe, Oke merencanakan tempat itu dengan pertimbangan teman-teman akan lebih banyak hadir. Dialah yang memiliki modal untuk itu. Dan ternyata benar, malam itu menjadi malam reuni. Aku bertemu lagi dengan Rony, Boby, Linda, dan teman kecilku Asbir. Lainnya adalah teman-teman yang kemarin kutemui. Rony dan Boby ternyata belum juga menyelesaikan kuliahnya, Linda sekarang telah bekerja di sebuah LSM Internasional, dan Asbir masih seperti dulu menjalankan bisnis perikananannya. Cuma mereka yang bisa kutemui malam itu, karena lainnya banyak yang telah pulang ke kampung halaman masing-masing dan ada juga yang mengadu nasib di kota lain. Dan berkat layanan telepon murah kami bisa terhubung dan berbincang lama dengan teman lain. Silvi di Jakarta, Ale di Surabaya, Suri di Papua dan beberapa teman lain di kota lain . Saling bertukar cerita, walaupun telah kuduga perbincangan kami tak akan jauh jauh soal permasalahan tidak hidup, tentang kuliah, kerja, menikah (pertanyaan paling sering disodorkan kepadaku) dan walaupun demikian pula malam itu adalah malam yang menyenangakan, malam yang ramai, malam yang ribut, dan tentu saja malam mengenyangkan karena aku hampir menghabiskan satu pan Pizza dan segelas cream mocca.

Banyak hal-hal, kabar, dan juga gossip yang baru aku tahu. Kabar tentang teman-teman, dimana mereka dan bagaimana mereka sekarang, boleh di bilang akulah yang paling ketinggalan soal itu, sesuai menyelesaikan kuliah aku memang jarang lagi berhubungan bahkan kontak melalui HP pun tidak. Lewat Oke’ lah aku bisa sedikit tahu. Awal kuliah aku begitu dekat dengan mereka, tugas dan praktikum yang bertumpuk adalah keseharian yang mendekatkan kami namun di akhir-akhir masa kuliah, aku menjauh diri dan jarang lagi berkumpul. Banyak hal yang membuatku merasa tidak nyambung bahkan konflik-konflik kecil kadang terjadi. Masa dimana, terjadi perubahan besar dalam cara berpikirku, aku mulai menyadari ketidak beresan dalam lingkunganku dan lebih besarnya adalah dalam hidup, sesuatu yang dulunya kuanggqap baik-baik saja. Hingga aku mulai membenci keadaan, membenci hal-hal yang ku anggap salah saat itu, dan termasuk juga teman-temanku. Karena yang terjadi adalah mereka tak peduli dengan apa yang kupikirkan, bahkan menyebutku terlalu mengawang-ngawang. Menjauh dan mencari teman lain yang mau jalan bersama, yaitu mereka yang ber“ideologi”.

Jauh setelah itu, yakni masa sekarang aku mulai menyadari kembali semuanya. Entahlah aku menyesalinya atau tidak. Dan kusadari telah terjadi lagi perubahan dalam diriku. Bukan menjadi bijak, karena apa yang kulakukan dulu yaitu menjauh dari teman-temanku adalah sebuah kesia-siaan karena tak pernah mengubah keadaan, tak akan mampu mengubah mereka. Lalu aku berpikir lagi saat ini, apakah aku perlu mengubah mereka? Dan juga apakah kami harus berpikir sama agar kami tetap saling berteman?sunguh yang kulakukan dulu tidak ada bedanya dengan “hero’ sang penyelamat, atau sebuah pengaagung-agungan atas ideologi.

Sebuah perenungan yang membuatku merindukan mereka kembali, dan aku hanya menyesal karena tidak lagi berada dalam keadaan kami bisa lagi saling bertemu. Ada hal –hal yang bernilai dari sebuah kebersamaan dan pertemananan tanpa intervensi individu yang melekat dalam ras, agama, atau ideologi apapun itu. Semua yang tak akan sama nilainya dengan senyum, kegembiraan, gelak tawa, candaan, dan segala perasaan menenangkan saat kita bersama.

Malam itu, seolah mengembalikan semuanya. Bertemu mereka, dan mencoba melupakan diriku, berbaur menjadi yang mereka sukai, yang penuh dengan candaan dan lelucon. Gelak tawa tak tertahankan adalah reaksi tak ternilai seperti sebuah terapi yang menyembuhkan penyesalanku. Keadaan yang tak akan kusia-siakan lagi, karena kesempatan tidak selalu seperti apa yang kita inginkan. Aku tak tahu entah kapan kami bisa berkumpul lagi. Aku pulang dengan penuh kelegaan, kami kembali ke hidup masing-masing. Hidup yang telah kami pilih. Dan berharap ada persimpangan yang mempertemukan kami lagi.

Malam belum berakhir saat itu, setiba di rumah aku tiba-tiba teringat seorang temanku, ia tak sempat hadir. Rega, ia masih berjuang meloloskan diri dari kuliah dan kudengar ia ujian meja hari itu. Kuhubungi dia bukan untuk memberikan ucapan selamat tapi sekedar ingin mengobrol saja dengannya. dan benar, kami mengobrol panjang malam itu (paling tidak ini sedikit pelarian dari penyakit susah tidurku). Rega adalah orang cukup enak diajak ngobrol, kami cukup nyambung dalam berbagai hal dan yang membedakan dia dari teman-teman ku yang lain adalah aku bisa menjadi sedikit diriku. Berbicara tentang hal-hal tak bisa kubicarakan pada teman-teman yang lain. Ia kini sedang berada dalam masa-masa dimana akan beranjak ke bagian hidup lain setelah kuliah. Masa yang juga pernah kulewati, penuh dengan kegelisahan dan kekhawatiran. Saat-saat itu dimana kita mulai memetakan hidup, kemana kita? Dan Ini pula yang terjadi pada Rega. Ia banyak bertanya tentangku, dan kujawab seperti apa adanya yang terjadi sekarang.. Perbincangan yang panjang, sangat menyenangkan. Tentang kerja, kemungkinan, tentang rencana masa depan hingga tentang bagaimana pandangan akan hidup. dan tentu saja berbicara dengannya tak akan luput dari perbincangan tentang film. Aktivitasnya di liga film, telah menghabiskan banyak waktunya dengan urusan-urusan membuat film dan yang berkaitan dengan itu, ini pula yang memperlama masa kuliahnya. Aku mendapat banyak referensi film darinya, sangat menarik karena kami terus berdiskusi panjang tentang film. Sayang sekali pulsa membatasi perbincangan kami, selain juga mataku akhirnya lelah.

Aku tak tahu lagi harus mengakhiri ceritaku ini. Karena kuharap certia ini masih akan berlanjut bertemu lagi dengan teman koridor laut yang lain. Ya, sungguh ini adalah hari menyenangkan………..miss u all

18 Februari 2008

“Kerja bukan mimpi”


“Kerja bukan mimpi”

Esai Herman Hesse “ mimpi sesuai kerja” mengingatkanku pada seorang teman lama Tiin. Kami baru saja bertemu setelah lebih dari setahun putus kontak. Pekerjaan dan kesibukan mungkin jadi alasan. Tiba-tiba saja ia menghubungiku dan akhirnya kami bisa bertemu lagi. Waktu itu Tiin baru pulang dari mengikuti tes pekerjaan di sebuah BUMN. Hari itu juga Tiin mengajakku untuk menemaninya ke sebuah hotel, dimana di sana sedang diadakan Bursa pekerjaan oleh berbagai perusahaan dan ia ingin mencari peluang pekerjaan lagi. Sempat ingin menolak tapi tak mau mengecewakannya karena kami baru saja bertemu. Secara fisik, banyak yang berubah dari Tiin. Kini tampak lebih kurus dan pucat, rambutnya yang dulu selalu mengembang telah memanjang dan lurus. Ya, jasa Rebonding telah mengatasi keluhannya sejak dulu. Dia juga lebih modis dengan jeans ketat dan sepatu hak tinggi. Ku temui sedang memegang sebuah map besar yang pastilah berisi berkas lamarannya. Kami naik angkot menuju hotel yang menjadi tujuan. Cukup lama perjalanan kesana jadi kami punya banyak waktu untuk saling bercerita tentang aktivitas masing-masing selama ini.

Sehabis kuliah dari jurusan Hukum, Tiin langsung diterima di sebuah perusahaan pengiriman barang. Bukan keanehan lagi saat ini, orang-orang melakoni pekerjaan yang tidak sesuai dengan dasar keilmuannya. Lima tahun atau mungkin tujuh tahun menghabiskan energi dan materi guna mendalami sebuah bidang ilmu menjadi sia-sia. Tidak aneh juga karena Institusi pendidikan tidak lagi mengajarkan kita pentingnya sebuah ilmu dan maknanya tapi mengajarkan kita untuk meraih angka-angka dan nilai yang tersusun dalam selelembar kertas yang bernama ijazah. Sebuah alat ampuh untuk menawari diri dalam kolom-kolom pengharapan di setiap halaman Koran. Institusi pendidikan tidak lebih dari sebuah pabrik penghasil buruh-buruh siap pakai yang terjadi justru sebagian besar yang hasilkannya malah tak terpakai. Saya dan juga Tiin adalah dua di antara ribuan bahkan jutaan produk yang telah dihasilkan.

Tiin bercerita lagi tentang dirinya. Ia kini telah berhenti bekerja di perusahaan tersebut setelah lebih dari dua tahun bekerja di sana. Awalnya ia masih berstatus sebagai pegawai kontrak setelah setahun baru terangkat sebagai pegawai yang entahlah saya tak tahu pasti, jelasnya ia tidak lagi berstatus kontrak. kemudian Alasan yang masuk akal ia berkeluh pada saya mengapa ia berhenti bekerja:

“ Bayangkan, saya tu kerja dari Senin sampai Sabtu. Tiap hari itu harus datang pagi-pagi sekali dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore dan dalam sehari itu saya cuma punya jeda di waktu makan dan shalat , selebihnya adalah di depan komputer menyelesaikan laporan yang bukan main memusingkannya. Laporan itu saya harus diserahkan tiap harinya, waktu bersantai ? jangan harap. Mengulur waktu sama saja dengan menumpuk-numpuk laporan. Untung-untung kalau tidak ada kesalahan, ujung-ujungnya pasti gaji juga yang di potong. Bahkan hari Minggu pun walau di rumah, saya masih tetap mengerjakan laporan untuk esoknya. Gila kan? . Bosan, jenuh, stress dan akhirnya apa? Saya terkapar di rumah sakit lama, gaji saya bahkan tidak cukup membiaya obat dan perawatan. Makanya, saya milih berhenti kerja saja di sana.”

Mendengar cerita Tiin, saya cuma tersenyum saja, tidak aneh. Walaupun dan untunglah saya belum bergelut dalam dunia seperti itu, hal yang demikan telah bisa saya bayangkan. Cerita Tiin, memperjelas semuanya. Inilah mengapa sampai saat ini saya belum siap menyerahkan diri untuk masuk dalam dunia mengerikan tersebut. Saat tuntutan hidup normal terus meronrong saya. Realistis kata mereka. Apa yang saya lakukan selama ini, tidaklah dianggap sebagai sebuah pekerjaan, karena penilaian akan kerja hanya dilihat pada seberapa rutin jadwal kerjamu, seberapa besar dan terkenalnya tempatmu bekerja dan seberapa besar uang yang kamu bisa dihasilkan. Sedangkan saya? Sulit untuk di mengerti karena yang saya inginkan adalah hidup bukan kerja. Saya tak terikat oleh apapun, saya bebas menentukan kemana dan akan apa, saya punya banyak waktu untuk tertawa dan tersenyum lalu inikah alasan untuk malu akan hal itu? dan apakah yang terjadi pada cerita Tiin tadi adalah sesuatu yang harus dibanggakan?. Tetapi sekali lagi , kehidupan saat ini tidak akan bisa menerima alasan saya. Realistislah, pernyataan yang selalu meningingatkan walau kadang bingung juga apakah kata itu telah tepat penggunaannya.

Berbicara dengan Tiin, mungkin tidak sama lagi saat kami bercerita beberapa tahun yang lalu, saat kami masih bersekolah dulu. Topik yang kami ceritakan pun kini tak sama lagi. Dulu kami berbicara tentang teman, tentang cowok idaman, tentang saingan, tentang sekolah, tentang pakaian, semuanya bercerita penuh keceriaan dan obrolan kami selalu saling menyambung. Tapi sekarang, kadang sulit lagi bercerita dengannya, entahlah siapa yang berubah di antara kami. Hidup dalam lingkungan yang berbeda, setiap saran dan ucapan saya, mungkin adalah keanehan bagi Tiin yang hidup begitu normal (dalam pandangan kebanyakan). Apakah saya harus menyalahkan dia? Ataukah saya yang seharusnya menyesali diri hidup tak seperti dia agar tetap merasakan bahwa hidup ini baik-baik saja? Saya berpikir dan saya tidak memilih kedua-duanya.

Obrolan kami terhenti saat tiba di hotel yang dimaksud. Tiin masuk dalam ruang bursa sedang saya menunggunya di lobi hotel. Tak membawa buku, jadi tak ada yang bisa dilakukan saat menunggu selain memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk. Beberapa di antaranya saya kenali, tapi kami cuma bisa saling bertegur sapa karena mereka kelihatannya cukup sibuk mempersiapkan berkas-lamarannya. Ada banyak orang saat itu dengan tampilan dan model yang hampir sama. Sebuah cara berpakain formal yang dianggap representatif dalam sebuah dunia kerja, dunia yang menghargai segalanya pada tampilan fisik. Beberapa di antaranya kelihatan sangat pantas tetapi ada pula yang terlihat sangat dipaksakan. Banyak pula di lobi yang sedang duduk menunggu, ada yang menunggu teman atau mungkin kekasihnya dan ada pula yang sedang menunggu kepastian nasibnya dari pengumuman yang dikeluarkan siang itu juga. Di depan lobi terpampang sebuah papan informasi daftar-daftar berbagai perusahaan yang sedang membuka peluang kerja di sana. Mulai dari perusahaan asuransi, Bank, sampai perusahaan penyedia tenaga kerja atau outshorching. Apakah saya merasa merugi tak ikut serta mengajukan lamaran dengan terbukanya peluang saat itu? Kurasa tidak, lagi pula adalah konyol untuk menyesali hal demikian selain memang saya tak pernah suka bermain-main dengan peluang di antara ratusan lebih orang-orang yang punya harapan yang sama. Mereka dengan ekspresi yang sama, penuh cemas, harap, impian yang mengilusi. Seaindainya saja bisa, semoga hidup ku tak dilalui dengan hal-hal demikian.

Lama menunggu Tiin, akhirnya ia keluar juga dan yang pasti dengan ekspresi yang sama. Dia telah mengajukan lamaran di dua perusahaan dan sekarang saatnya menunggu ketidakpastian tanpa kejelasan waktu. Kini, Tiin menantikan lagi untuk dirampas hidupnya. Pengalaman dari cerita tadi baginya adalah hal lalu yang telah terlewatkan dan sekarang untuk memulai lagi hal baru. Semoga saja Tiin menemukan hal yang benar-benar baru ataukah ia justru akan mengulangi hal sama, menambah daftar akan kejadian yang sama hanya di tempat yang berbeda.

Pertemuan kami hanya sampai saat itu. Ia pulang ke rumah sedang saya, seperti biasa menjalani rutinitas harian bersama teman-teman di Idefix. Paling tidak hari itu, Tiin telah membawa saya ke dunia yang berbeda. Seberapa besarnya perbedaan di antara kami ia tetaplah menjadi teman. Selalu.

2 Februari 08’

Mimpi Seusai Kerja


Mimpi Seusai Kerja

Oleh : Herman Hesse

” Dalam setiap esai, saya berusaha menuntun pembaca untuk tidak hanyut dalam panggung dunia dengan persoalan politiknya, melainkan mengajak para pembaca pada persoalan mendasar kemanusiaan, sebelum penilaian sepihak menduduki suara hati pribadi masing-masing...”(Hesse)

Dalam Pos sekretariat deputi sebuah kementrian, saya mendapati diri berada dalam situasi yang sama mengesankannya seperti mereka yang beberapa tahun lalu harus melepaskan kebiasaan lama dalam melayani masyarakat. Kerja seharian memaksa kami hidup dalam ketegangan. Kami tidur dengan beban kerja dan bangun untuk kembali bekerja. Kami mengkhawatirkan urusan departemen, kami mencari ide supaya lebih baik, memakai metode paling sederhana, dan menceburkan seluruh aspek kepribadian kami dalam waktu-waktu kritis itu. Dan tiba-tiba kesempatan itu datang saat diri kami yang sejati-”Adam yang lampau” dalam konteks teologi-keluar bersama kami, lesu dan ragu-ragu seperti seorang laki-laki yang mencoba tersadar dari pembiusan dan telah sekian lama tidak memiliki kontrol penuh atas anggota tubuh maupun pikiran.

Inilah yang saya rasakan beberapa hari yang lalu sepulang ke rumah dengan sebundel dokumen dalam genggaman. Matahari bersinar hangat. Udara menyebarkan aroma awal musim semi seakan-akan Hazelnut sedang berkembang di suatu tempat. Hanya beberapa saat sebelumnya dalam perjalanan pulang, pikiran saya dipenuhi persoalan tawanan perang. Saya mempertimbangkan surat dan memorandum yang rencananya akan ditulis setelah makan malam. Sekarang saya dalam perjalanan menuju luar kota dan dalam sekejap pikiran saya tidak lagi tertuju pada para taanan perang, penyensoran, makalah singkat, atau kesulitan dalam pengajuan kredit. Selama semenit ke depan saya melihat dunia seperti sebuah tampat yang bebas dari rasa takut. Burung hitam terbang melintas dengan cepat melewati pagar tanaman dan pohon limau yang membatasi perkebunan, menggores dahan lalu menukik menuju langit musim semi yang berawan tipis. Di sana-sini di pinggiran ladang terdapat sebidang tanah sempit yang ditumbuhi pepohonan dengan dedaunan hijau berkilauan dan sinar matahari menembus pohon Walnut yang rimbun. Saya melupakan apa yang ada dalam kepala dan segala sesuatu yang saya bawa dalam kopor untuk seperempat jam. Ketika perjalanan berakhir, saya tidak hidup dalam situasi yang kita sebut ’realitas”, melainkan dalam keindahan realitas otentik yang menderita bersama kita. Saya berbuat seperti anak kecil, seperti yang dilakukan oleh sepasang kekasih maupun seorang penyair. Saya melupakan sebuah maksud dan keinginan. Saya membiarkan diri ini hanyut dalam keindahan mimpi aneka warna.

Impian khayalan! Impian melitas di mata dan saya menyaksikan segala sesuatunya menjadi baru, terjadi untuk pertama kalinya di hari itu. Saya melihat sesuatu yang murni, tak bernoda, egoisme, sebuah lingkaran, dunia puas diri yang egoistik, amoral, hasrat asosial, dan bayangan masa depan. Tidak ada yang namanya perang dan perdamaian, tidak ada yang harus dilakukan untuk menebus tawanan perang, tidak ada yang harus dilakukan terhadap seni, sosial, sistem pendidikan, atau agam di masa depan. Semacam perhatian yang tidak menyentuh kedalamannya, hanya wilayah permukaan. Hanya sekali saja Adam yang lampau menyibakkan cadarnya. Dia masih anak-anak dan semua hasratnya terkait dengan diri sendiri dan dan kemauan azalinya.

Saya telah bermimpi, mimpi yang menakjubkan. Saya mimpi perdamaian datang menjelang. Kita semua digantikan generasi baru, matahari bersinar dan saya tidak bisa bertindak sesuka saya.

Dalam mimpi itu, saya melakukan tiga hal. Pertama , saya baring di pantai dengan kaki berjuntai menyentuh air. Saya mengulum setangkai ilalang dengan mata setengah terpejam dan menyenandungkan sebuah lagu. Untuk beberapa saat saya mencoba menerka nada lagu apa yang saya senandungkan itu, tapi itu tidak terlalu mengganggu. Lagi pula siapa peduli? Saya terus bersenandung sampai bosan dan menceburkan kaki ke dalam air. Saya hampir jatuh tertidur dalam kehangatan mentari, tetapi tiba-tiba semua kembali pada saya : saya bebas dan menjadi tuan atas diri sendiri, saya dapat berbuat sesuka saya, saya berbaring di pantai yang jauh dan luas dan tak ada seorang pun selain saya. Saya loncat-loncat seperti Indian yang memperagakan tarian perang, saya menceburkan tubuh saya ke air yang biru. Saya mengelepar-gelepar di air, berenang menuju ke pantai, merasa lapar, berlari ke pantai, mengibaskan air dari rambut, kemudian berbaring di samping ransel yang terbuka. Perlahan saya mengeluarkan sepotong roti, roti hitam yang telah ada sebelum perang, dan selai – sejenis selai yang biasa kita bawa saat piknik di sekolah sewaktu kita kecil-sekerat keju Swiss, sebutir apel dan sepotong coklat. Saya membentangkan kain dan meletakkan semuanya lantas menatap takjub sampai tak dapat menahan lapar lebih lama lagi. Kemudian saya melahap semuanya. Dan ketika saya mengunyah, kebahagiaan masa kecil yang terlupakan mengalir dari roti dan selai yang saya makan.

Tetapi tidak lama. Pemandangan segera berganti. Sekarang saya berpakain formal dan lengkap. Duduk dalam ruangan yang nyaman dengan jendela menembus taman. Bayangan ranting tergerai di jendela. Di pangkuan saya tergenggam buku dan saya terbenam dalam bacaan. Saya tidak tahu buku apa itu. Yang saya tahu temanya filsafat-tetapi bukan Kant atau Plato, barangkali Angelus Silesius-dan saya membaca dan terus membaca, menyelami diri sendiri dalam kebahagiaan tak terlukiskan karena sepenuhnya bebas dan tak ternganggu, tanpa kemarin maupun hari esok, di laut ini, dalam keindahan ini, lautan perhatian dan pengagungan yang tak pernah habis, dari antisipasi tak sabar yang akan membenarkan pemikiran saya. Saya membaca dan merenung, perlahan saya membalik halaman baru, di jendela seekor tawon berwarna coklat emas berdengung sementara keadaan sekitarnya sunyi, saya tidak menginginkan apa pun selain mengungkapkan hal yang sungguh mencukupi kepuasan batin.

Dari waktu ke waktu, tampaknya dekat rumah atau dari dalam rumah, saya mendengar suara syahdu yang lembut dari sebuah biola atau mungkin cello. Perlahan suaur itu terdengar lebih keras dan lebih nyata, bacaan maupun pikiran saya sepenuhnya beralih. Saya mendengarkan musik, lebur dalam gairah tak sudah. Mozart mempengaruhi ketenangan dunia yang murni. Saya pikir telah berada di sana seumur hidup. Saya duduk di kursi antai di samping dinding yang rendah di sudut sebuah kebun anggur di lembah selatan.

Di atas lutut saya terdapat sebuah bingkai media lukis tangan kiri saya memegang palet dan di tangan kanan sebuah kuas. Di samping saya tergeletak tongkat penyangga tubuh, ransel saya terbuka, dan saya bisa melihat tube mungil untuk melukis. Saya mengambil satu, melepas tutupnya dan dengan kegembiraan amat sangat saya menekan tube biru kobalt termurni dan mengoleskannya pada palet, kemudian warna putih dan hijau kebiru-biruan untuk melukiskan udara pagi. Untuk waktu lama saya menatap pegunungan dan arakan awan coklat emas, dan mencampurkan biru laut dengan merah, menahan nafas sejenak sebab pemandangan menjadi tak terhingga lembutnya, bercahaya dan penuh khayal. Setelah ragu-ragu sejenak, kuas dengan coretan melingkar yang cepat melukiskan awan berkilauan menjadi biru dengan bayangan berwarna kelabu dan ungu, latar depan berwarna hijau dan guguran pohon Cheznut memainkan harmoni satu sama lain dengan warna merah dan latar belakang yang berwarna biru. Nuansa persahabatan dan kasih sayang yang terpancar, warna-warni menarik dan nuansa kebencian yang meledak dan segera kehidupan terkonsentrasikan dalam media lukis persegi tersebut. Segala yang ada di dunia ingin berbicara, mengaku dan meminta maaf-begitu juga saya pada dunia-menyatakan keinginannya untuk dilukis dengan warna putih dan biru dan kuning cerah yan ceria dan dalam hijau lembut yang manis. Dan saya rasa inilah kehidupan! Inilah yang dapat saya bagi dengan dunia, kebahagiaan dan sekaligus beban-beban saya. Di sinilah sayam merasa berada di rumah. Di sinilah kebahagiaan disimpan untuk saya, di sini saya menjadi raja, di sini saya bisa kembali ke masa lalu dengan mengabaikan dunia pegawai negeri yang menyesakkan.

Sebentuk bayangan jatuh di atas lukisan saya, saya mendongak-saya sedang berdiri di luar rumah dan mimpi pun usai sudah.

Diambil dari kumpulan esai Herman Hesse ”Seandainya perang terus berkecamuk sebuah refleksi tentang perang dan politik” Jalasutra 2005)


Tentang Herman Hesse dan Esainya ...
Mimpi sesuai kerja ”adalah salah satu esai yang menggambarkan bagaimana kehidupan dunia kerja di masa perang, tentang beban dan keterpurukan serta mimpi-mimpi dan kerinduan akan sebuah kebebasan. Pencarian akan sebuah arti kehidupan. Menakjubkan, esai ini ditulis lebih dari setengah abad silam, namun gagasan-gagasan nya masih relevan dengan situasi dunia saat ini. Benar bukan? lihat apa yang digambarkan Herman Hesse tentang sebuah dunia kerja, bandingkan dan kita akan menemukan banyak kesamaan. ”Dunia kerja” yang terus mengalienasi manusia dari hidupnya.

Herman Hesse (1877-1946) lahir di Calw, Jerman. Pernah menempuh pendidikan pada sekolah misionaris sebagai calon pendeta. Namun, ia mengalami krisis spiritual dan berusaha menjalani pengobatan spritual oleh seorang teolog ternama. Upaya itu gagal. Ia sempat berusaha bunuh diri, tetapi masih terselamatkan. Akhirnya ia keluar dari seminari Maulbronn tahun 1892. Setelah drop-out dari sekolah, ia lalu bekerja di toko buku selama beberapa tahun-sebuah tradisi pembelajaran yang memuluskan kariernya sebagai pengarang Jerman terkemuka. Perang dunia I muncul sebagai kejutan mengerikan. Hesse bergabung bersama seorang pasifis dan penulis benama Romain Rolland- selain menulis esai antiperang, dia juga menjadi editor surat kabar yang ditujukan bagi tawanan perang Jerman. Dan kemudian menekuni karya-karya Freud dan Jung saat menjadi pasien di sebuah sanatorium. Tahun 1919 dia menetap di Swiss. Dan kemudian hidup mengasingkan diri di Montagnola, Swiss sampai ia meninggal.

Karya-karyanya: Peter Camenzind (1904), Beneath the wheel (1906), Deman (1919), Siddhartha (1922), Steppenwolf (1927), Narcissus and Goldmund (1930), The Journey to the east (1932), Magister Ludi (1943), sebuah karya yang menghantarkan Hesse meraih hadiah Nober Sastra tahun 1946.

Bebas


Bebas

”aku bebas hanya ketika semua orng lain di sekelilingku baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bebasnya. Kebebasan orang lain, alih-alih membatasi atau membatalkan kebebasanku, justru sebaliknya merupakan kondisi dan konfirmasi yang diperlukannya. Aku menjadi bebas dalam pengertiannya yang sejati hanya karena kemerdekaan orang-orang lain, begitu rupa sampai semakin banyak jumlah orang bebas di sekelilingku, makin dalam dan makin besar serta makin ekstensif kemerdekaan mereka, maka makin dalam dan makin luas pula kemerdekaanku.”

Mikhail Bakunin

Pulau dan masih di pulau....


Pulau dan masih di pulau....


..Cerita tentang kembali ....

Kabar tentang rencana ke pulau , telah ku tahu seminggu sebelum perjalanan ke sana dari seorang teman ku di idefix. tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan dan meniatkannya. Walau Jadwal keberangkatan sebenarnya sempat tertunda dengan alasan cuaca yang kurang baik. Akhir-akhir ini memang Makassar terus diguyur hujan dan angin kenjang, yang artinya terjadi juga peningkatan gelombang air laut dan ombak pasti akan sangat besar. Ini sempat membuatku khawatir, namun keinginan ku untuk kesana juga sangat besar . Aku tetap menulisnya dalam jadwal, bahkan beberapa kegiatan tempatku biasa berkatifitas mesti mengalah dan memajukan beberapa jadwal setelah upaya ku membujuk teman-teman . Terima kasih atas pengertian kalian.

Orang pertama yang ku kabarkan tentang rencana ke pulau tentu saja kekasih, teman, sahabat dan partner kerja terbaikku..... Tak kusebut sebagai pacar, kami telah lama sepakat memutuskan hubungan tradisional itu. Seperti dugaan, dia pun sangat antusias. Kami berdua sangat antusias. Mengapa ? karena kami pernah meninggalkan sebuah cerita di sana. Lima tahun yang lalu. Belum setahun setelah pertemuan kami. Saat dimana kami mulai berani tampil setelah cukup lama bersembunyi tentang hubungan kami, jenuh dan bosan akan komentar-komentar risih orang, kami tidak peduli lagi. Perasaan luar biasa sedang menyerang saat itu.

Dan tahun ini kami kembali lagi kesana. Setelah menempuh perjalanan yang sungguh menenangkan.

Saat pertama kali tiba, kami berjalan mengelilingi pulau. Berjalan di tepian pantai, di atas pasir putih besih, hingga setiap langkah meningggalkan jejak di belakangnya. Kaki kami terus dibasahi oleh hantaman ombak yang menepi. Sebuah kamera merekam setiap objek dan momen saat itu., pasir, laut, pinus, pecahan cangkang dan karang, buah pinus yang berhamburan di atas pasir, matahari , perahu nelayan, bahkan kayu di tepian yang telah lapuk semua menjadi sangat istimewa. Dan yang pasti tak terlewatkan adalah mengabadikan diri dalam momen indah itu.

Matahari pun akan segera pamit pada sore. Berhenti berjalan dan duduk di atas bongkahan kayu, kami lalu bercerita tentang kembali...

Kembali ke lima tahun yang lalu, tentang prosesi yang membuat kami terdampar kesana, cerita tentang teman-teman yang bersama kami dulu yang entah dimana saat ini, cerita tentang pulau ini dulunya, cerita tentang karang yang mengiris kakinya, dan lebih dari semuanya adalah bercerita kami, tentang perasaan maha dahsyat yang menyerang kami saat itu. Saat yang tak bisa terlupa, teringat setiap detilnya, tempat, waktu, rasanya...lalu dan lalu kami terus bercerita,

cerita tentang jatuh cinta..,

Cerita tentang malu-malu, cerita tentang kepura-puraan, keluguan, cerita bagaimana menyembunyikan perasaan dari teman-teman kami, dimana kami dulu duduk bersama, tentang tenda kecil yang kudatangi setiap malam untuk menemaninya dan menyuapinya untuk sekedar menghilangkan rasa sakit jahitan luka di kakinya, tentang sindiran-sindiran halus yang sering kami dapatkan dari teman-teman, dan akhirnya...

bercerita tentang satu momen perdana di antara kami, tentang sebuah sentuhan pertama, tentang menyatunya tangan dan tangan, tangan dan pipi, hingga bagaimana bibir tak kuasa pula ingin menyatu...dan akhirnya hanya dapat bersandar pada kedua pipi kami..

Terdiam dan saling menatap...semuanya seakan terulang kembali....

Apa yang kami rasa saat ini mungkin tak senilai lagi dengan lima tahun yang lalu. Sekarang, saat kami saling melihat, lebih dari setengah yang kulihat darinya dulu tak kulihat lagi saat ini, mungkin juga sebaliknya. Tapi yakin, kami masih memiliki lebih dari setengah hal yang membuat kami tetap bersama hingga saat ini. Dan setelah ini? Entahlah, semua tetap berjalan apa adanya. Mengisi hidup, mewujudkan semua ide-ide dan cita-cita yang tak tahu kapan akan terwujud. Menyusun rencana-rencana gila, bukan rencana akan sebuah masa depan yang tak henti nya orang-orang mempertanyakan itu pada kami. Belum, mungkin belum. Kami adalah pemimpi, siapapun boleh mengatakan itu. Bermimpi akan apapun, ”When we can't dream any longer we die ’. Serikat hati akan selalu ada.

“Love, the strongest and deepest element in all life, the harbinger of hope, of joy, of ecstasy; love, the defier of all laws, of all conventions; love, the freest, the most powerful moulder of human destiny. Love is free; it can dwell in no other atmosphere” (Emma Goldman).


7 February 2008

Hepy B’Day ,My lovely dear


PULAU..Pulau


PULAU..Pulau

di atas air....
Aku baru saja pulang dari perjalanan jauh di sebuah pulau. Tiga jam dengan perahu kecil dari pelabuhan nelayan untuk sampai kesana. cukup cerah hari itu hingga aku bisa menikmati perjalanan di atas laut tenang dan tiupan angin yang menyentuhku lembut. Perasaan yang sungguh sangat jauh berbeda dengan yang kubayangkan sebelumnya. tiupan angin kencang, guyuran hujan dan hempasan ombak mungkin lelah dan sedang beristirahat saat perjalananku. Walaupun sebenarnya aku telah siap dengan kemungkinan itu. karena Aku akan tetap pergi.
Ketenangan menghapus setiap kelelahan dan kebosanan dalam keseharianku. Lebih dari itu, aku bisa merasakan otonomi temporal tanpa sehelai kain yang selalu menutup kepalaku. kubiarkan tiap helai rambutku merasakan kebebasan dan kerinduannya akan sentuhan udara, terbebas dari hijab yang selalu membatasi dan mengurungnya yang mungkin lebih tepat adalah diriku. Lepas, selepas pandanganku. lega, selega perasaanku. Di atas lapangnya laut, dan kehidupan makluk ajaib di dalamnya. Aku tertidur, sungguh tertidur, terjaga dan tak merasakan apapun lagi.
Aku terbangun saat perahu tiba di sebuah pulau, beberapa penumpang yang bersamaku turun beserta barang miliknya. Mereka adalah penduduk pulau setempat yang baru saja membeli bahan kebutuhan hidup dari kota yang tidak bisa mereka dapatkan di sana. Selalu terlintas di kepalaku, bagaimana mereka bisa hidup di tempat seperti ini dengan segala keterbatasan, di antara lautan yang sungguh menyeramkan bagi sebagian orang. Atau mungkin sebaliknya mereka justru lebih beruntung hidup di dunia yang berbeda. Di dunia dimana sebagian besar orang lain hidup, yang penuh ketergantungan dan kepenatan. Ya mungkin mereka memang lebih beruntung.
Tak cukup tigapuluh menit kapal melanjutkan lagi perjalalanannya. Menuju pulau yang menjadi tujuanku. Terasa kembali ketenangan seperti semula. Kusaksikan antraksi menakjubkan dari mahluk-makhluk ajaib, ikan terbang di atas permukaan air , gerombolan ikan seperti menari di dasar laut, antraksi seru burung laut menangkap ikan, suara-suara riuh air dan Senyum adalah satu-satunya ekspresi yang bisa kulakukan.
Tak lama lagi akan sampai. Pulau itu telah tampak dari jauh seperti sebuah benda kecil yang mengapung di atas air. mataku hanya memandang lurus kedepan, tak bisa lepas dari benda kecil itu. Tak sempat kuhitung berapa lama waktunya, jarak kini telah menggantikan pandanganku dari sebuah benda kecil menjadi sebuah tampakan yang sangat indah dan jelas. Pohon-pohon pinus dan jenis tanaman lain yang masih asing menyatu dan membentuk sebuah kanopi besar hingga cahaya matahari seolah lelah mencari celah untuk melanjutkan sinarnya. Hamparan pasir dan pecahan cangkang kerang ikut melindunginya dari terjahan ombak dan air laut. Pulau Cangke.
Aku turun dari kapal. Kudapatkan kenikmatan lagi saat pertama kali kakiku menyentuh air, telapakku tertimbun di antara pasir putih yang dingin dengan sedikit pijatan halus dari pecahan-pecahan kecil karang. Dan aku tidak sabar lagi untuk merasakan hal yang sama di seluruh tubuhku.

18 Januari 2008

+

Blogger templates

About Me

Foto saya
"Don't exist. Live. Get out, explore. Thrive. Challenge authority. Challenge yourself. Evolve. Change forever. It's time to be aggressive. You've started to speak your mind, now keep going with it, but not with the intention of sparking controversy or picking a germane fight. Get your gloves on, it's time for rebirth. There IS no room for the nice guys in the history books. THIS IS THE START OF A REVOLUTION. THE REVOLUTION IS YOUR LIFE. THE GOAL IS IMMORTALITY. LET'S LIVE, BABY. LET'S FEEL ALIVE AT ALL TIMES. TAKE NO PRISONERS. HOLD NO SOUL UNACCOUNTABLE, ESPECIALLY NOT YOUR OWN. IF SOMETHING DOESN'T HAPPEN, IT'S YOUR FAULT. Make this moment your reckoning. Your head has been held under water for too long and now it is time to rise up and take your first true breath. Do everything with exact calculation, nothing without meaning. Do not make careful your words, but make no excuses for what you say. Fuck em' all. Set a goal for everyday and never be tired." — Brian Krans (A Constant Suicide)

Blogroll

About


ShoutMix chat widget